Archive for 2011

QURBAN DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT RELIGIUS (Religiusitas Ibrahim As. Untuk Masyarakat yang Berkeadilan Sosial)


.



Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillaahilhamd.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati Allah Swt.

Alhamdulillah, pagi ini kita dipertemukan kembali dalam rangka memenuhi panggilan keimanan dan mahabbah kita kepada Allah SWT; Menunaikan satu diantara kewajiban-Nya, yaitu shalat Hari Raya Idul Kurban/Idul Adha, seraya merenungkan hakikat dan tujuan hidup, dalam ikhtiar membangun masa depan kehidupan yang lebih baik.
Kaum muslim di seluruh dunia, hari ini, secara serentak mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, sebagai bentuk verbal pengakuan akan kebesaran dan kemaha-kuasaan Allah SWT yang meliputi alam jagat raya ini. Gema takbir, tahmid dan tahlil dilantunkan sebagai ekspresi kepasrahan kita sepenuhnya kepada pemilik masa depan, seraya berharap akan bimbingan dan keridhaan-Nya.

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.

Setiap tahun kita merayakan Idul Kurban. Setiap tahun jamaah haji Indonesia bertambah. Sayangnya bersamaan dengan itu problem umat tak berkurang. Apa makna spektrum ibadah haji dan qurban bagi perubahan yang kita harapkan. Singkatnya, apa makna Idul Adha kita tahun ini?

Hadirin, Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah.

Berbicara tentang Idul Kurban atau disebut juga Idul Adha bermula dari sebuah drama mimpi Ibrahim As, untuk menyembelih putra tercinta Ismail As., namun kemudian digantikan dengan seekor qibas, karena memang perintah itu hanyalah ujian keimanan.
Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim As., dan ibadah kurban yang diperintahkan Allah kepada kita kaum beriman, memiliki dua dimensi utama: Pertama, hubungan vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun min Allah) yang harus berlangsung atas dasar keikhlasan pengabdian. Yaitu hubungan yang ditegakkan atas dasar cinta tanpa pamrih. Sulit dibayangkan bahwa Ibrahim As., rela memenuhi perintah menyembelih Ismail, putra satu-satunya, buah penantian panjang dari kemandulan isteri bertahun-tahun, kini sedang tumbuh berkembang sebagai seorang remaja yang tampan. Logika manusia modern mungkin akan menolak perintah mimpi seperti itu yang hanya dianggap sebagai bunga tidur. Manusia modern mungkin akan mencari dalih bahwa perintah itu hanyalah tipu daya setan yang harus dihindari. Kecintaan manusia modern kepada dunia akan menghalanginya untuk melenyapkan milik yang paling dicintainya lewat tangan sendiri.
Namun, tidaklah demikian dengan Ibrahim As. Nabi kekasih Allah (Khalilullah), yang dikenal sebagai Bapak Monoteisme karena pencarian panjang dan intensnya akan Tuhan Yang Maha Esa, telah memilih jawabannya sendiri. Kecintaannya yang tulus kepada Allah, yang didasari pada keimanan yang kuat menghujam dalam diri, dan ketaatannya kepada Allah yang mengatasi segala loyalitas kepada makhluk, telah menggerakkan hatinya untuk memenuhi perintah Allah, walau secara manusiawi sangat berat untuk dilaksanakan. Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama.

$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102).

Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya. Idul Adha mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, yaitu dengan menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan. Revitalisasi tauhid di tengah-tengah erosi keimanan dewasa ini adalah hal yang perlu dilakukan oleh kaum beriman.
Kehidupan pada masa modern telah melahirkan dua tipe manusia. Pertama, manusia yang sombong dan angkuh sehingga ia menggeser pusat kesadaran dan kehidupannya dari Tuhan Pencipta (theo-centrism) kepada suatu kehidupannya dan kesadaran akan kekuasaan manusia (anthropocentrism), sehingga manusia menyembah dan mengabdi kepada dirinya sendiri. Kedua, manusia yang tiada berdaya dan terjajah oleh manusia dan makhluk lain, dan lupa akan kemahakuasaan Allah, sehingga dia menyembah dan menyerahkan segala urusan kepada makhluk lain. Idul Adha, ibadah kurban dan ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan Ibrahim As., mengajarkan kepada kita betapa penting bagi kita untuk meneguhkan komitmen keimanan hanya kepada Allah, Pencipta manusia dan alam semesta.

Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah.

Kedua, ibadah kurban berdimensi horizontal (hablun minannas), yaitu adanya kepedulian terhadap sesama manusia, bukanlah suatu kebetulan bahwa Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim As., dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena pengabdian kita kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia.
Menyembelih hewan kurban dan kemudian membagikan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa tentu merupakan amal kebajikan yang mempunyai implikasi sosial yang cukup berarti. Daging-daging hewan kurban yang kita bagikan pada saat Idul Adha dan hari-hari tasyrik akan merupakan nikmat bagi saudara-saudara kita yang hampir tidak pernah mengonsumsi daging, karena mungkin bagi mereka daging adalah menu yang terlalu mewah. Di samping itu, daging hewan kurban yang dibagikan adalah sebagai bentuk rasa empati, simpati serta kepedulian kita kepada masyarakat yang berhak, kaum lemah, kaum papa, yatim-piatu, dan fakir-miskin tanpa membedakan serta melihat mereka beragama, bersuku, berbangsa, dan berwarna kulit apa. Dengan demikian, idhul Adha juga merupakan ritual yang diharapkan berdampak sosial positif bagi semua kalangan.
Namun, yang lebih penting adalah bukan penyembelihan dan pembagian daging kurban itu sendiri, tetapi kepedulian dan kesadaran kita untuk mau berbagi kepada sesama adalah wujud dari ketakwaan kita kepada Allah. Allah berfirman dalam al-Qur’an : “Sekali-kali tiadalah daging-daging itu mencapai keridhaan Allah, tapi ketakwaan darimulah yang mencapai ridoNya

Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah.
Kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan bahwa keberagamaan (religiusitas) kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepadaNya, dan kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia; kemashlahatan bagi semua lapisan dan golongan masyarakat; rahmat bagi sekalian alam. Keberagamaan (religiusitas) yang hanya berhenti pada keimanan tanpa peribadatan adalah keberagamaan yang kering-kerontang. Sedangkan, keberagamaan (religiusitas) yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong hampa.
Pergeseran kata kurban, yang secara harfiah dalam bahasa Arab berarti pendekatan (diri kepada Allah), kepada kata pengorbanan dalam bahasa Indonesia yang mengandung arti melepaskan suatu yang paling berharga sekalipun demi sesuatu yang lebih mulia, membawa makna positif, yaitu bahwa pendekatan diri kita kepada Allah (taqarrub ila Allah) harus mengejawantah dalam sikap rela memberi yang terbaik untuk mencapai kemuliaan. Ibrahim As., adalah prototype manusia atau hamba Allah yang semenjak awal tidak mementingkan diri sendiri bahkan juga terhadap kelompoknya. Bagi Ibrahim As., yang terpenting adalah bahwa setiap perbuatan harus ikhlash dilaksanakan, diabdikan untuk mensyukuri karunia Allah yang telah banyak dilimpahkan serta dikerjakan untuk membawa dampak yang mashlahat bagi manusia dan alam, tanpa membeda-bedakan derajat, agama dan bangsanya.

Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah.

Dalam konteks Indonesia, semangat berkorban untuk menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing menjadi sesuatu yang amat penting guna menjaga dan melestarikan bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Karena hanya dengan kesediaan mengorbankan egoisme kekuasaan, kepentingan kelompok, Keragaman bangsa dalam berbagai aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama akan terjaga dan akan memperkaya kehidupan spiritualitas bangsa.
Kita telah memilih wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, dan telah memiliki presiden dan wakil presiden yang baru. Akan lebih indah rasanya jika mereka turut untuk memajukan kehidupan bangsa dalam berbagai aspek, dengan integritas kebangsaan dan keislaman.
Pembangunan masyarakat yang religious sekarang ini jauh lebih mendesak untuk dilakukan ketimbang pembangunan fisik atau pembangunan ekonomi. Bangsa kita kaya dengan berbagai varian konflik. Konflik antara negara dengan masyarakat muncul dalam berbagai bentuk. Konflik antar ummat beragama masih menghantui beberapa daerah. Bagaimana dengan fenomena kekerasan? Kekerasan, sepertinya menjadi alat kekuatan pemaksa yang mendesak masyarakat agar menjadikannya sebagai kosa kata kunci dalam penyelesaian masalah. Kekerasan tak jarang tumbuh subur dalam hubungan-hubungan sosial yang ada; antara suami-istri, orang tua-anak, majikan-bawahan, pedagang-pembeli, produsen-konsumen, pejabat-rakyat dan negara-masyarakat. Kekerasan meningkat tidak hanya dalam jumlah, tetapi juga dalam bentuk penganiayaan terhadap korban kekerasan. Kekerasan tersebut banyak terlihat dalam kasus-kasus kriminalitas yang muncul dan tidak pernah reda setelah krisis ekonomi beberapa tahun silam.
Singkat kata, berbagai penyakit sosial masyarakat terus tumbuh dan berkembang seakan jamur di musim hujan.
Berqurban di jalan Allah sejatinya merupakan realisasi dari jihad yang bisa dilakukan melalui berbagai cara. Yang terpenting dari proses pengorbanan tersebut adalah ketulusan, kesungguhan, dan keteguhan hati untuk betul-betul berkorban di jalan Allah.

$yJ¯RÎ) šcqãYÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur §NèO öNs9 (#qç/$s?ötƒ (#rßyg»y_ur öNÎgÏ9ºuqøBr'Î/ óOÎgÅ¡àÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè%Ï»¢Á9$# ÇÊÎÈ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Q. Al- Hujarat ayat 15).


Ayat di atas, Allah menegaskan pentingnya pengorbanan melalui semua apa yang kita miliki untuk mencapai keridhaan-Nya. Apa yang kita miliki, baik keluarga, harta, maupun jabatan jangan sampai membuat kita terbebani karena takut kehilangan. Ketakutan dan kekhawatiran terhadap apa yang kita miliki cenderung melahirkan prilaku menyimpang, seperti kikir, tamak, rakus dan dalam jangka panjang dapat menjadi benih munculnya konsumerisme, hedonisme dan materisme.
Ketika Nabi yang mulia mengatas-namakan qurban-nya untuk diri dan keluarganya, dan semua umatnya yang tidak mampu, ia menegaskan bahwa ibadah qurban sebagai ibadah sosial. Qurban bukan sekedar ritus ritual untuk meningkatkan kualitas spiritual seseorang; bukan juga sebagai cara untuk memperoleh kepuasan batin; atau menjadi kesempatan buat orang kaya menunjukkan kesalehan dengan harta yang dimiliki; juga untuk menunjukkan kesalehan dari seseorang yang memiliki kekuasaan. Tetapi dengan qurban, seorang Mukmin dapat memperkuat keyakinan beragamanya, untuk dijadikan komitmen dalam hidupnya agar selalu memiliki kepedulian terhadap sesama. Lebih jauh dari itu, sesungguhnya kita diharapkan dapat berpartisipasi aktif dengan segala potensi yang dimiliki dalam melakukan sosial-recovey tersebut.  

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu akbar.
Hadirin yang dimulyakan Allah

Kekuatan umat Islam saat ini, antara lain terletak pada ukhuwah Islamiyah yang terpatri dalam hati sanubari setiap muslim. Inilah simbol yang dapat kita temukan dalam peristiwa ibadah haji. Umat Islam secara serentak bertawaf mengelilingi Baitullah. Ali Shariati melukiskan makna simbolis ritual haji secara menawan.
Dalam berihram, manusia harus menanggalkan pakaian sehari-hari di miqat. Karena pakaian, menutupi diri dan watak manusia; melambangkan status dan perbedaan; menciptakan batas palsu, menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.  Dalam perjalanan menuju "rumah Allah", segala batas dan perbedaan dilucuti karena di mata Allah derajat manusia sama. Maka, kenakan kain tak berjahit berwarna paling generik dan universal, putih. Dalam kesederhanaan, manusia menemukan persamaan dan kesederajatan. Hanya dengan kondisi seperti itu, ia boleh menuju Kabah.
Dalam tawaf, sang aktor hendaknya ikut hanyut dalam lautan manusia lainnya. Semua "aku" menjadi "kita", berputar mengitari Kabah, bagai bintang-bintang beredar mengelilingi orbitnya. Itu berarti, untuk dapat menghampiri Allah, tiap individu harus menghampiri manusia. Jalan ketuhanan adalah jalan kemanusiaan. Tanpa tindakan kemanusiaan, kesucian ketuhanan tak bisa direngkuh.
Dalam sai, sang aktor berlari-lari kecil antara dua bukit, memerankan heroisme Siti Hajar, berjuang mencari air untuk menyelamatkan bayinya, Ismail. Sai berarti "berjihad" sebisa mungkin demi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan sendiri. Bermula dari Bukit Safa (artinya cinta murni) menuju Marwah (yang berarti idealitas). Pada titik ini keimanan berpadu dengan pengorbanan.
Pada 9 Zulhijah, sang aktor meninggalkan "rumah Allah", menuju Padang Arafah. Selama sehari jemaah haji berhenti (wukuf) di sini, berjemur di bawah terik matahari, membiarkan kepicikan egosentrisme terbakar oleh terang pengetahuan. Arafah sendiri artinya pengetahuan. Pengetahuan sebagai titik awal pengenalan diri dan tugas kesejarahan.  Bersama sinar matahari yang tenggelam, sang aktor mengarungi malam menuju Masy’ar. Dalam konsentrasi di keheningan malam, diharap terbit kesadaran bahwa pengetahuan bisa bermanfaat atau menyesatkan bagi manusia, tergantung kesadaran kemanusiaan. Kesadaranlah yang mengubah pengetahuan menjadi moralitas, imoralitas, damai, perang, keadilan, atau kezaliman. Masy’ar artinya kesadaran. Masy’ar adalah cahaya yang dinyalakan Allah di dalam hati orang-orang yang dikehendaki, yakni mereka yang berjuang bukan demi diri sendiri, tetapi demi kemaslahatan orang banyak.

Jamaah Idul Adha yang berbahagia,

Akhirnya, marilah kita berdoa, semoga kita mampu meneladani keikhlasan Ibrahim As., kita dapat membingkai dan mengimplementasikan semangat keberagamaan (religiusitas) Ibrahim As., dalam konteks berbangsa dan bernegara untuk menjalin persaudaraan dan kebersamaan dalam kemajemukan.

Ya Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ampunilah semua dosa kami, dosa orang-orang yang beriman kepadaMu, baik yang masih ada maupun yang telah tiada.

Ya Allah, Yang Maha Pengampun, ampunilah semua dosa kami dan dosa-dosa kedua orang tua kami, rahmatilah kedua mereka, sebagaimana mereka telah mendidik kami sejak kecil.

Ya Allah, Yang Maha Kuasa, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri, maka jika engkau tidak mengampuni dan merahmati kami, maka kami akan menjadi orang-orang yang merugi.

Ya Allah, limpahkan atas kami bangsa Indonesia dengan kasih sayangMu, hindarilah kami dari ujian dan cobaan yang tidak dapat kami memikulnya, jauhkanlah kami dari segala macam bencana, malapetaka dan marabahaya.

Ya Allah, limpahkanlah atas kami Bangsa Indonesia, kekuatan lahir dan batin untuk bangkit dari keterpurukan dan kenistaan, untuk mampu menjalin kebersamaan dan persaudaraan di antara kami yang beragam ini.

“Ya Allah wujudkan dalam kehidupan ummat ini kepemimpinan yang bijaksana yang dinaungi hidayahMu, yang dengannya agamaMu dimuliakan, amar ma’ruf ditegakan, keadilan dan kemakmuran sungguh-sungguh diwujudkan.

Ya Allah, tunjukkanlah kami jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang engkau telah beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, bukan pula orang-orang yang sesat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha illallah, Allahu Akbar Walillahil hamd.

REMAJA DAN GAYA HIDUP


.


I f t i t a h

Alvin Toffler, dalam bukunya The Third Wave mengatakan bahwa kita sekarang ini berada pada gelombang peradaban ketiga. Di peradaban ini, perkembangan sains dan teknologi semakin cepat jika dibandingkan dengan perubahan kultural manusianya. Melihat sinyalemen di atas, dipastikan bahwa pada abad XXI ini merupakan abad sainstifik-tecnological, di mana sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas kelihatannya, seperi dalam globalisasi informasi mutakhir, misalnya satelit komunikasi atau internet yang terus berkembang dan mengglobal, atau jaringan televisi dengan beragam program yang semakin teridentifikasi (seperti CNN, Discovery, Channel, HBO dan sebagainya), yang tanpa dihalangi melintas batas-batas geografis.  Jadi dari hal di atas, key-term (kata kunci) pada abad XXI ini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara sederhana, menurut Marwah Daud Ibrahim (1993) ilmu pengetahuan itu membahas tentang know-what dan know why, sedangkan teknologi, secara sederhana berkenaan dengan know-how. 
Namun dari semua itu, mesti kita sadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah “pedang bermata dua”. Ia dapat dipergunakan untuk berbuat baik sekaligus pada saat yang sama dapat digunakan untuk tindak kejahatan. Ia dapat mendatangkan kemajuan dan kenyamanan, akan tetapi juga pada saat yang sama ia menjadi problem yang tidak begitu saja mudah untuk diatasi. Misalnya, tak ragu lagi kemajuan-kemajuan teknologi mendorong munculnya berbagai perubahan, atau bahkan transformasi kebudayaan manusia secara keseluruhan. Azyumardi Azra (1996) menyebutkan bahwa serbuan globalisasi-informasi mendorong berkembangnya nilai-nilai, norma-norma dan gaya hidup di kalangan masyarakat banyak. Kemajuan-kemajuan teknologi transportasi ini juga mendorong terjadinya perkembangan budaya travel dan migrasi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai budaya dan peradaban antar manusia secara langsung. Pertumbuhan kebudayaan material dan konsumerisme yang hampir tidak dapat dikendalikan lagi, yang pada gilirannya menimbulkan gaya hidup hedonistik yakni gaya hidup yang mengedepankan dan memper-tuhankan benda dan kesenangan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan demikian tidak sepenuhnya bebas nilai, karena kehadirannya telah mencerminkan kepentingan-kepentingan manusianya. Dalam hubungan ini, ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya dikawal dan dikendalikan oleh iman dan taqwa, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi sepenuhnya dapat dikuasai untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang luhur. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi menurut Musa Asy’arie (1996) seharusnya menjadi perpanjangan aktualisasi iman dan taqwa. Iman dan taqwa, sebagai muara yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya akan terasa optimal dan kokoh bila dalam upaya pembinaannya secara konsisten dan berkesinambungan.
Salah satu komponen pemakai “produk” perkembangan era globalisasi adalah remaja. Remaja, oleh Sarlito Wirawan Sarwono (1992) diposisikan sebagai masa perpindahan (transisi) dari tahap anak-anak ke tahap dewasa. Dari posisi yang sangat tanggung itu, lebih lanjut Boentje Herboenangin  (1992) menduga bahwa banyak masalah yang mesti dihadapi oleh remaja, disamping masalah-masalah tipikal yang pada umumnya dihadapi oleh setiap remaja sebagai akibat dari masa transisi (peralihan) tersebut. Masalah yang dihadapi remaja pada saat ini antara lain adalah keterbukaan atau eksosure kepada sumber-sumber informasi sejagat, yang akan menumbuhkan sikap mental tertentu yang menjadi ciri khas mereka yang berada di era-globalisasi.
Kesiapan mental mereka tentunya sangat diperlukan dalam menyongsong arus perkembangan globalisasi ini, agar dapat mengurangi dampak kritisnya sampai pada titik yang serendah-rendahnya, bahkan kalau mungkin sampai pada titik nol. Karena, menurut Nurcholish Madjid (1995) setiap perubahan sosial akan menimbulkan krisis, dan krisis itu sebanding dengan ukuran perubahan yang terjadi. Era globalisasi  akan membawa perubahan sosial yang sangat besar, lebih besar dari pada yang dibawa oleh era-industrialisasi.


Kontra  Moralitas  Gaya  Hidup Remaja : “Semakin Modern, semakin Permisif”

Gaya hidup (lifestyle) menurut Idi Subandy Ibrahim (1997) adalah corak yang menjadi intisari dari suatu perkembangan zaman tertentu dan hal itu dipengaruhi oleh kecenderungan budaya yang ada. Gaya hidup sebagai pembeda akan muncul dalam masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan juga bahwa gaya hidup inilah yang menjadi prestise dalam sistem stratisikasi sosial. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai “KTP” bagi keanggotaan suatu stratum sosial. Untuk menangkap gaya hidup ini dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya bersifat modis, cara berprilaku (etiket), sampai bahasa yang digunakan tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata tapi juga untuk simbol identitas.
Di Indonesia, paling mutakhir adalah bagaimana orang ‘dilatih’ untuk berobsesi dengan persoalan gaya hidup. Pergi ke salon hanya untuk merawat kuku ternyata bukan milik kaum perempuan saja sekarang kaum laki-laki pun melakukannya, ‘sekolah kepribadian’ semakin menjamur, melatih bagaimana orang-orang bisa makan ‘sop dengan sopan’. Belum lagi fitness center yang merebak sampai ke kampung-kampung, kebiasaan konsumtif baru untuk mengunjungi rumah-rumah makan fast food seperti McDonald’s, Kentucky Friend Chicken, Wendy’s, dan lain sebagainya.
Perubahan-perubahan yang menakjubkan itu ternyata ada social cost yang harus dibayar, artinya berapa orang atau seberapa banyak kelompok-kelompok sosial yang harus menyingkir untuk membiayai satu kelompok yang lebih beruntung ? Perkembangan yang terjadi sekarang ini bukanlah sesuatu yang terjadi dengan percuma, dia mempunyai ‘harga’ yang harus dipersoalkan : bukan saja agar harga itu tak terlalu mahal, tapi juga untuk siapa sebenarnya semua ini?
Oleh karena itu sadar atau tidak, saat ini gaya hidup yang menjadi icon-nya globalisasi telah merangsek masyarakat dan kehidupan bangsa terutama generasi muda atau remaja, yang lebih vulnerable dan impressionable.  Globalisasi, yang oleh Syahrin Harahap (2004) disebutkan memiliki ciri antara lain terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistis, efisien dan juga sekaligus tidak menghargai nilai yang norma secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan.
Kilpatrick (1992) dalam sebuah surveynya yang berjudul The Day America Told the Truth mengungkapkan tentang kepercayaan orang Amerika yang mengatakan bahwa pergaulan bebas dan zina (hubungan seksual tanpa nikah) merupakan hal yang lumrah dan bahwa dianjurkan. Sebagai contoh  Pada sebuah Sekolah Menengah di California setiap Jumat sore semua siswa yang akan berlibur akhir pekan terlebih dahulu pamit kepada guru mereka. Guru melepaskan mereka dengan kata-kata perpisahan : “selamat menikmati libur akhir pekan”, “jaga kesehatan dan jangan gonta-ganti pasangan, usahakan tidak hamil dan sebaiknya kamu pakai kondom saja” (Have a sex safely or avoiding disease, and avoiding pregnancy).  Begitulah pesan guru pada siswanya dan hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dan tatakrama ala Amerika dan Barat. Inilah pragmatisme versi Amerika dan Barat yang mengajarkan bahwa kebenaran itu tergantung kepada kepuasan individu dan kalau seseorang sudah puas dan merasa terhibur dengannya maka itulah sebuah kebenaran.  
Sontak hati penulis, ketika membaca beberapa hasil survey tentang ‘gaya hidup’ remaja di beberapa kota besar di Indonesia. Hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994 di beberapa SMP, SMU dan SMK di Jakarta dinyatakan bahwa 9,9% dari 558 siswa yang menjadi responden mengaku telah berhubungan seks dengan teman sebaya setelah menonton film porno.
Hasil penelitian Sulistya Eka, pelajar SMPP 10 Yogyakarta  menyebutkan bahwa dari 461 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31.6% melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6% meraba-raba organ tertentu milik pacarnya dan 12,7% mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya.
Sementara itu Jawa Pos edisi 25 Mei 2003 mencatat sebuah polling dari 1.522 siswa SMU/SMK di Jakarta dan Surabaya bahwa rata-rata 10,4% pernah berhubungan seks di luar nikah dan 45% pernah wet kissing (ciuman basah).
Survey terhadap 190 siswa SMU/SMK di Bandung tentang alasan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 26% menyalurkan dorongan seks, 17% ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji kemampuan/keperawanan/perjaka, 5% mendapat imbalan, dan 3% mengatasi stress.
Itulah barangkali sebagian ‘wilayah’ remaja kita yang tereleminasi globalisasi dan  tatakrama ala Amerika dan Barat. Remaja kita sudah semakin permisif (serba boleh). Apa yang dahulu tidak boleh, sekarang sudah boleh.


Moralisasi : Agenda Pendidikan                   

Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat, termasuk remaja beradab, yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik. Pendidikan yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community networks). Namun itu, seringkali kita temukan secara diametral pertentangan moralitas di masyarakat, sebagai contoh :  Razia buku-buku porno yang dimiliki oleh siswa berbenturan dengan media cetak, media elektronik, VCD, jaringan internet atau media lain yang mengumbar simbol-simbol yang merangsang nafsu syahwat.
Penggambaran gaya hidup remaja yang kontra moralitas di atas adalah sebuah realitas, yang dicaci secara lisan dan tulisan, namun kerap dilakukan dan bahkan dipandang sebagai kewajaran pada sebuah masyarakat yang tengah mengalami ‘kesakitan’. Tatkala sebagian besar remaja kita telah mengklaim sebagai remaja modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral belum lagi surut. Bersamaan dengan itu, setidaknya pada tataran verbal seruan motivasional agar remaja tampil secara bermoral tidak pernah surut.  Moralitas sejati berfungsi untuk membimbing tingkah laku remaja, dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kebutuhan sosial di sekitar mereka.
Moralitas, moralisasi, tindakan amoral dan demoralisasi merupakan realitas hidup dan ada di sekitar kita. Ross Poole (1993) mengatakan bahwa terkadang konsep moralitas itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib di dunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep yang bisa kita akui memiliki tempat di dalam suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuas-kan bagi kita. Kebermaknaan itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, kebertanggungjawaban, ketenang-an, tanpa prasangka dan keceriaan hidup. Inilah dambaan dan tuntutan kita untuk hidup dalam suasana asali moral (moral state of nature) di mana tuntutan-tuntutan moralitas dan aspirasi-aspirasi kita sendiri terakomodasi secara normal di dalam hidup bermasyarakat.


Khotimah

Ketika globalisasi menjadi sebuah kemestian, karena melawannya merupakan hal yang tidak mungkin dan beresiko tinggi. Yang hanya bisa dilakukan adalah bersikap selektif dan berusaha menyaring nilai-nilai
Munculnya moralitas, menurut Plato adalah ketika seseorang mulai berfikir apa yang mesti dan tidak mesti dilakukan menurut kultur yang arif dan alam pikiran rasional yang objektif. Penalaran, dalam makna nalar intelektual tidak memadai lagi ketika kehidupan makin kompleks, hingga lahirlah tuntutan untuk membangun masyarakat yang cerdas intelektual-emosional-spiritualnya secara simultan. Mungkin itu sebenarnya yang ingin dibangun di Indramayu ?!  Wallahu’alam.