Archive for Maret 2012

MENJAMIN MUTU PENDIDIKAN ADALAH AMANAH


.


 Saya akan mengapresiasi Dr. Suhaeli yang telah menunjukkan satu tanda kepakarannya, dengan menyampaikan pokok-pokok pikiran pada Seminar Internasional Re-Thinking Educational Administration : Issue and Trends in Relation With The Improvement of National Quality of Education. Saat ini, beliau bukan hanya sebagai birokrat tapi juga seorang pakar pendidikan, terpancar kuat dalam setiap pemikiran dan sikapnya. Kekuatan pemikiran, ditambah kesantunan dan ketenagan dalam melihat berbagai persoalan menjadi ciri utama kepribadiannya.Pemahaman beliau akan akar-akar historis yang melandasi berbagai pemikiran pendidikan (administrasi pendidikan) dikuasai secara mendalam dan luas. Dalam memandang dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan, selalu mempertimbangkan aspek keadilan dan jalan tengah.
Saya melihat pemikiran Dr. Suhaeli yang disampaikan pada seminar lalu sebagai bentuk penelusuran terhadap kekurangan atau bahkan ketidakmampuan pada tataran makro, meso maupun mikro sistem yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan, hal tersebut karena kita kurang sinergis (terutama faktor evaluasi dan pengawasan) dan komitmen terhadap mutu (quality control tanpa disertai quality assurace). Pemetaan faktor ketidakmampuan tersebut terlihat pada kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis tidak dilaksanakan secara konsekuen; penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis-sentralistik; kurangnya partisipasi warga sekolah, khususnya guru dan masyarakat, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Saya melihat masalah yang sampaikan oleh Dr. Suhaeli pada persoalan bahwa mekanisme pengembangan mutu harus mengacu pada konsep jaminan mutu (quality assurance), bukan kendali mutu (quality control). Mutu yang baik adalah manifestasi pertanggungjawaban otoritas pendidikan atas kepercayaan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya. Kontekstual masalah tersebut pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) adalah sekolah harus lebih menekankan segi proses, dan bukan segi hasil atau pencapaian belaka (output). Jika mengikuti logika kendali mutu, energi sekolah akan tecurah pada upaya mengukur akumulasi pengetahuan dan keterampilan siswa selama proses belajar-mengajar, seperti melalui berbagai skema UN yang selalu ada masalah dan hiruk pikuk yang menghabiskan energi. Konsekuensinya, pembelajaran yang ada maupun tindak lanjut pengembangan mutu yang nantinya diambil akan berkutat pada upaya-upaya menggenjot hasil ujian supaya dapat melampaui standar akademis atau ujian nasional yang ada.
Khusus untuk Ujian Nasional (UN), saya punya pandangan bahwa ujian nasional itu pada dasarnya menjadi domain pedagogis. Maknanya UN adalah bentuk pertanggungjawaban setiap peserta didik yang telah mengikuti kegiatan pembelajaran selama periode tertentu. Untuk peserta didik SD periode tertentu tersebut adalah enam tahun dan untuk SMP dan SMA/SMK periode tertentu tersebut adalah tiga tahun. Setiap peserta didik mempunyai kemampuan akademis yang berbeda. Ada peserta didik yang cepat menguasai mata pelajaran yang diajarkan sehingga pada saat mengikuti UN sudah siap, tetapi karena berbagai alasan, ada peserta didik yang belum siap ketika mengikuti UN sehingga tidak lulus.  Ketika dalam suatu kabupaten/kota atau satu sekolah relatif banyak peserta didik yang tidak lulus, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota atau sekolah lain, UN juga masuk pada domain politis karena banyak komentar dari berbagai kalangan mulai pengamat pendidikan, politikus, sampai dengan orang tua, bahkan anggota masayarakat pada umumnya. Komentar bervariasi, dari tidak setuju dengan diselenggarakannya UN sampai dengan UN dianggap sebagai upaya untuk mendiskreditkan peserta didik. Ada juga yang berpendapat UN merupakan alat ukur yang tidak adil. Namun kalau kita mau memandang dari sudut pandang yang positif, UN dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk memetakan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dari situ titik pangkal peningkatan mutu pendidikan dilakukan.
Namun itu, dari pemahaman di atas, penulis mengusulkan ke depan kebijakan formulasi kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan adalah 50% (US) dan 50% UN atau bahkan 60% (US) dan 40% UN, bukan 40% (US) dan 60% UN (Permendiknas 59 tahhun 2011) sehingga ada keseimbangan US dengan UN. Dari disinilah peran sekolah benarbenar dilibatkan karena terjadinya keseimbangan nilai sekolah dan nilai ujian nasional. Ujian sekolah itu mutlak diproyeksikan berimbang dengan Ujian Nasional karena bisa mendorong para siswa belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar.
Untuk memahami mengapa ujian sekolah dan ujian nasional harus berimbang, karena ujian yang dilaksanakan selama ini belum mampu mewujudkan fungsinya secara optimal. Temuan tim dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa dua hal penting yang menentukan manfaat ujian bagi peningkatan mutu pendidikan adalah (a) mutu tes yang digunakan, dan (b) mutu balikan yang diberikan. Selain itu, Bank Dunia juga menyatakan bahwa prasyarat agar kedua faktor tersebut berfungsi dengan baik dalam meningkatkan prestasi akademik peserta didik adalah kesamaan persepsi guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa tentang pentingnya ujian dalam proses pendidikan. Sistem ujian yang diharapkan adalah suatu sistem yang mampu membantu penyelenggara pendidikan menegakkan akuntabilitas publik, memberikan balikan yang bermanfaat kepada sistem pendidikan untuk meningkatkan mutu kinerja dan efektivitasnya, serta mampu mengendalikan dan mendorong terjadinya peningkatan mutu pendidikan (sekurang-kurangnya prestasi akademik peserta didik). Studi yang dilakukan oleh tim dari Bank Dunia memberikan pelajaran bahwa sistem apa pun yang dihasilkan hanya akan efektif jika didukung oleh kesamaan persepsi dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait untuk mengimplementasikan sistem itu secara konsekuen, termasuk pihak sekolah.
Sehingga menurut saya, sisi lain yang juga, lebih penting dari itu adalah bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.
Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa menjamin mutu pendidikan adalah amanah. Semangat itu harus mendasari konsep pengembangan mutu di mana pun. Mutu bukan sekadar sesuatu untuk diukur atau dijadikan faktor penentu keunggulan. Mutu yang baik adalah manifestasi pertanggungjawaban otoritas pendidikan atas kepercayaan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya. Saya sepakat dengan yang dikemukakan oleh Dr. Suhaeli, bahwa kita perlu melakukan upaya sistematis, sinergis dan berkesinambungan yang dapat menjamin mutu pendidikan, tajam dalam implementasi (quality control dan quality assurace).

Wallahu’alam.



Manajemen Konflik


.

PENGERTIAN KONFLIK


Terdapat perbedaan pandangan para pakar dalam mengartikan konflik.  Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam mengartikan konflik, yaitu pendekatan individu, pendekatan organisasi, dan pendekatan sosial.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan individu antara lain disampaikan oleh Ruchyat dan Winardi. Ruchyat (2001:2) mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Senada dengan pendapat ini Winardi (2004:169) mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam individu bersangkutan. Hal ini terjadi jika individu 1) harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama, 2) harus memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali, dan 3) harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan sosial adalah seperti yang disampaikan oleh Cummings dan Alisjahbana. Cummings (1980:41) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses interaksi sosial, dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih berbeda atau bertentangan dalam pendapat dan tujuan mereka. Alisjahbana (1986:139) mengartikan konflik sebagai perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang akan mencapai  nilai yang sama.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan organisasi antara lain dikemukakan oleh para pakar berikut. Luthans (1985) mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota kelompok organisasi. Dubrint (1984:346) mengartikan konflik sebagai pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Winardi (2004:1) mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat antara orang‑orang, kelompok‑kelompok atau organisasi‑organisasi. Sedarmayanti (2000:137) mengemukakan konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior). James A. F. Stoner (1986:550) menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan/atau pandangan yang berbeda.

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KONFLIK DALAM ORGANISASI


Robbins (2003:137) mengemukakan tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional (Traditional view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan interaksonis (interactionism view of conflict).
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional ini menganggap konflik sebagai hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu tidak terelakan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan adakalanya konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok.
Sementara pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya  pandangan ini menjadi jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah suatu konflik baik atau buruk tergantung pada tipe konflik. Secara teoretik Robbins (1996:438), mengemukakan terdapat dua tipe konflik, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah sebuah konfrontasi di antara kelompok yang menambah keuntungan kinerja organisasi. Konflik disfungsional adalah setiap konfrontasi atau interaksi di antara kelompok yang merugikan organisasi atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi.
Winardi (2004) menggambarkan pandangan kuno dan pandangan modern tentang konflik yang menjadi pembeda antara konflik masa lalu dan konflik masa kini dalam organisasi.



















Tabel  1 Perbedaan Pandangan Mengenai Konflik

PANDANGAN KUNO
PANDANGAN MODERN
Konflik dapat dihindari
Konflik tidak dapat dihindari
Konflik disebabkan karena adanya kesalahan manajemen dalam hal mendesain dan manajemen organisasi-organisasi atau karena adanya pengacau-pengacau
Konflik muncul karena aneka macam sebab, termasuk di dalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam tujuan-tujuan yang tidak dapat
dihindari, perbedaan-perbedaan dalam persepsi-persepsi, serta nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan sebagainya
Konflik merusak organisasi yang bersangkutan dan menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal.
Konflik membantu, kadang-kadang menghambat hasil pekerjaan organisatoris dengan derajat yang berbeda-beda.
Tugas manajemen adalah meniadakan konflik
Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal
Agar dapat dicapai hasil prestasi  organisatoris optimal, maka konflik perlu ditiadakan. 
Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris, memerlukan konflik moderate.

Proses Terjadinya Konflik


Konflik tidak terjadi secara seketika, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu.  Robbins (2003) menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau ketidakcocokan potensial; tahap kognisi dan personalisasi; tahap maksud; tahap perilaku; dan tahap hasil.



Gambar  1  Proses Konflik dari Robbins (2003)




Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya, kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III: Maksud
Maksud berada di antara persepsi serta emosi orang dan perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi (kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti merintangi kinerja kelompok.


SUMBER-SUMBER KONFLIK


Konflik dalam organisasi tidak terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan terhadap lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik organisasi menurut pandangan Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. (1983: 513) dapat dilihat pada gambar 3. Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. menyatakan bahwa, konflik pada umumnya disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar kelompok/departemen, dan lemahnya sistem kontrol organisasi. Permasalahan koordinasi kerja antar kelompok berkenaan dengan saling ketergantungan pekerjaan, keraguan dalam menjalankan tugas karena tidak terstruktur dalam rincian tugas, perbedaan orientasi tugas. Sedangkan kelemahan sistem kontrol organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau bagian, aturan main tidak dapat berjalan secara baik, terjadi persaingan yang tidak sehat dalam memperoleh penghargaan.
 
Gambar  2 Sumber-sumber Konflik Organisasi  (DuBrin, 1984)

Tosi, H.L. Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J. (1990:523) mengelompokkan sumber-sumber konflik menjadi tiga yaitu, (1) Individual characteristic, (2) Situational conditions, (3) Organizations structure. Karakteristik individu meliputi; perbedaan individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan kepribadian, persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling ketergantungan untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen, perbedaan status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas. Penyebab konflik yang ketiga adalah struktur organisasi yaitu, spesialisasi pekerjaan, saling ketergantungan dalam tugas dalam tugas, perbedaan tujuan, kelangkaan sumber-sumber, adanya pengaruh dan kekuasaan ganda, perbedaan kriteria dalam sistem penggajian.
Kondisi permulaan penyebab konflik menurut pendapat Tosi, et al. (1990:524) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar  3: Kondisi Awal Penyebab Timbulnya Konflik Organisasi dari Tosi (1990:524)


Bentuk-bentuk Konflik

Dalam aktivitas organisasi, dijumpai bermacam-macam konflik yang melibatkan individu-individu maupun kelompok-kelompok. Beberapa kejadian konflik telah diidentifikasi menurut jenis dan macamnya oleh sebagian penulis buku manajemen, perilaku organisasi, psikolog maupun sosiologi.

Tabel  2 Berbagai Pandangan Mengenai Bentuk Konflik
No.
Penggagas
Bentuk Konflik
1.                     
Soekanto, S. (1981),
a.      Konflik pribadi
b.      Konflik rasial
c.      Konflik antar kelas-kelas sosial
d.      Konflik politik antar golongan-golongan dalam masyarakat
e.      Konflik berskala internasional antar negara
2.                     
Polak, M. (1982)
a.      Konflik antar kelompok
b.      Konflik intern dalam kelompok
c.      Konflik antar individu untuk mempertahankan hak dan kekayaan
d.      Konflik intern individu untuk mencapai cita-cita
3.                     
Champbell, Corbally, dan Nystrand (1983)
a.      Intrapersonal conflict
b.      Interpersonal conflict
c.      Individual institusional conflict
d.      Intraorganizational conflict
e.      School community conflict
4.                     
Walton (1987)
a.      Conflict between members of a family
b.      Conflict confined to two individuals in an organization
c.      Conflict between organizational units
d.      Conflict between institutions/organizations
5.                     
Owens (1991), Winardi (2004), Davis and Newstron (1981)
a.      Intrapersonal conflict
b.      Interpersonal conflict
c.      Intra group conflict
d.      Intergroup conflict
e.      Inter organization conflict.
6.                     
Wexley, et al. (1992)
a.      Konflik antar individu dalam satu kelompok
b.      Konflik bawahan dengan pimpinan
c.      Konflik anta dua departemen atau lebih
d.      Konflik antar personalia staf dan lini
e.      Konflik antar serikat buruh dengan pimpinan (manajer)
7.                     
Handoko, T.H. (1992)
a.      Konflik dalam diri individu
b.      Konflik antar individu dalam organisasi
c.      Konflik antar individu dengan kelompok
d.      Konflik antar kelompok
e.      Konflik antar organisasi
8.                     
Ruchyat (2001)
a.      Konflik intrapersonal
b.      Konflik interpersonal
c.      Konflik intra grup
d.      Konflik inter grup
e.      Konflik intra organisasi
f.       Konflik inter organisasi

Berdasarkan tabel di atas, pada hakekatnya konflik terdiri atas lima bentuk, yaitu: 1) konflik dalam diri individu, 2) konflik antar individu, 3) konflik  antar anggota dalam satu kelompok, 4) konflik antar kelompok, 5) konflik antar bagian dalam organisasi, dan konflik antar organisasi.
a.       Konflik dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan.  Handoko (1995:349) mengemukakan konflik dalam diri individu, terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
Menurut Winardi (2004:169),  terdapat tiga tipe konflik pada tingkat individu, yaitu:
1)      Konflik Mendekat-mendekat (Approach-approach Conflict)
Konflik demikian meliputi suatu situasi di mana seseorang harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama. Contoh: apabila individu  harus memilih antara tindakan menerima sebuah promosi yang sangat dihargai di dalam organisasi yang bersangkutan dan menerima pekerjaan baru yang menarik yang ditawarkan oleh perusahaan lain.


2)      Konflik Menghindari-menghindari (Avoidance-avoidance Conflict)
Sebuah situasi yang mengharuskan seseorang memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali. Contoh: apabila kita menghadapi pilihan transfer pekerjaan ke kota lain yang berada pada lokasi yang tidak menyenangkan atau di PHK oleh organisasi di mana kita bekerja.
3)      Konflik Pendekatan-menghindari (Approach-avoidance Conflict)
Konflik ini meliputi sebuah situasi di mana seseorang harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya. Contoh: apabila seseorang diberi tawaran promosi yang menjanjikan gaji lebih besar, tetapi yang juga sekaligus mengandung tanggung jawab yang makin meningkat dan yang tidak disukai.
b.      Konflik antar individu
Konflik antar individu (interpersonal conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di mana hasil bersama sangat menentukan.
c.       Konflik  antar anggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif  terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
d.      Konflik antar kelompok
Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan akan keahlian.
e.       Konflik antar bagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut "mewakili" unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa (2004:244) konflik ini terdiri atas
1)      Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan guru.
2)      Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga kependidikan.
3)      Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini. Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)      Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran. Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.
f.        Konflik antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah dengan salah satu organisasi masyarakat.

MENGATASI DAN MENGELOLA KONFLIK DALAM ORGANISASI


Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin (1982:219) mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi, et al. (1990) berpendapat bahwa, “Conflict management mean that a manager takes an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R.E. 1987:79). Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi. 
Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, (1996) mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami Menurut Handoko (1992) secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu, (1) stimulasi konflik, (2) pengurangan atau penekanan konflik, dan (3) penyelesaian konflik. Stimulasi konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif akhirnya menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu atau kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan (manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau penekanan konflik, manajer yang mempunyai pandangan tradisional berusaha menekan konflik sekecil-kecilnya dan bahkan berusaha meniadakan konflik daripada menstimuli konflik. Strategi pengurangan konflik berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.
Demikian halnya, Winardi (2004) berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi kegiatan-kegiatan; (1) Menstimulasi konflik, (2) Mengurangi atau menekan konflik, dan (3) Menyelesaikan konflik.
 Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu; (a) memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku, (b) merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru, (c) menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami, (d) meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya, (e) memilih pimpinan baru yang lebih demokratis.
Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi pihak-pihak yang sedang konflik. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi, kompromis, dan pemecahan problem secara integratif.
Sebagai pemimpin ada berbagai strategi manajemen konflik, yaitu:
Teknik 1: Ajak orang-orang yang sedang konflik pada tujuan yang lebih tinggi. Contoh, bagian anda terlibat konflik dalam menentukan kuota penjualan. Bagian keuangan menuntut penjualan setinggi-tingginya, sedangkan bagian anda menuntut dukungan biaya promosi besar-besaran. Begitu orang-orang itu kita ajak bicara pada tataran corporate, untuk tujuan yang lebih besar, mereka akan cenderung untuk berpikir lebih jernih.
Teknik 2: Memperluas sumber daya yang ada. Konflik bisa terjadi karena sumber daya yang langka yang dibutuhkan banyak orang. Contoh, hanya ada satu saluran telpon untuk dua bagian. Ketika mereka akan menggunakannya, mereka saling berebut. Cara manajemen konfliknya? Ya, tambah saja pesawat telponnya. Ini adalah contoh yang sangat menggampangkan, namun saya harapkan anda menangkap gagasannya.
Teknik 3: Penghindaran. Ini yang sering dilakukan oleh orang pada umumnya. Daripada ribut dan konflik terus dengan tetangganya, orang itu kemudian menghindar dan berusaha untuk tidak bertatapan dengan tetangganya itu. Ini memang bukan cara manajemen konflik yang efektif, namun kadang, dengan penghindaran ini, pihak yang ingin konflik akan berkurang ‘semangat’ untuk konfliknya.
Teknik 4: Mencari titik temu. Ketika anda sebagai pemimpin dan menemui orang yang konflik, anda dapat memakai teknik ini. Teknik ini berusaha mencari persamaan yang ada antara pihak yang terlibat konflik, sekaligus juga diperkecil perbedaan yang ada. Contoh ada konflik antara bagian pemasaran dan produksi. Daripada berdebat perbedaan fungsi kedua bagian itu, manajemen konflik dapat mencari persamaan kedua bagian itu. Misalnya, mereka sama-sama fungsi yang sangat penting dalam perusahaan, karena tanpa keduanya, perusahaan tidak akan bisa hidup…
Teknik 5: Kompromi. Ketika anda melakukan kompromi terhadap pihak yang terlibat konflik, mungkin masing-masing pihak tidak merasa puas terhadap keputusan itu. Namun manajemen konflik ini efektif jika topik/barang yang dikonflikkan bisa dibagi dua secara adil.
Teknik 6: Pakai Power. Ini adalah cara paling kuno untuk manajemen konflik. Ketika orang yang konflik tidak mau menyudahi konfliknya, sebagai pemimpin anda gunakan kekuasaan anda untuk menyudahi konflik itu. Walau mereka tidak puas, namun karena mereka adalah bawahan anda, mau tidak mau mereka harus patuh kepada anda.
Teknik 7: Mengubah sifat-sifat orang yang konflik. Mengubah sifat orang sangatlah sukar. Namun, ini adalah manajemen konflik yang efektif untuk jangka panjang. Contoh, di kantor anda dijumpai karyawan yang sering bertengkar dengan karyawan lainnya. Sebagai pemimpinnya, anda ajak pelan-pelan karyawan itu untuk mengubah perilakunya. Dengan sabar anda bimbing karyawan itu, dan akhirnya, ia mampu menjadi karyawan yang baik. Ketika karyawan itu sudah berubah sikapnya, konflik yang sering terjadi di bagian anda akan sangat berkurang.
Teknik 8: Ubah strukturnya. Agar bagian promosi dan bagian produksi tidak saling menyalahkan, ubahlah strukturnya. Contoh, bagian pemasaran mengeluhkan betapa sulitnya mereka menjual karena produknya desainnya jelek, dan kualitasnya meragukan. Keluhan itu ditanggapi oleh bagian produksi dengan cara mereka membuat produk begitu karena memang tidak ada masukan dari bagian pemasaran. Sedang produk yang buruk, mereka mengeluh karena terjadi pemotongan anggaran produksi besar-besaran dari bagian keuangan. Agar mereka tidak saling konflik, gabung saja dua bagian itu dibawah satu departemen. Sekali lagi contoh manajemen konflik yang saya tulis ini hanya untuk menggampangkan, dan bukannya ‘resep’ yang harus diikuti secara membabi buta.
Teknik 9: Ciptakan musuh bersama. Agar mereka tidak usreg saling konflik, ciptakan saja musuh bersama. Musuh ini dapat berupa pesaing agresif yang harus dihadapi dengan bersatu, dan bukannya terpecah belah seperti sekarang ini. Musuh ‘ciptaan’ dapat pula berupa ‘kunjungan’ pimpinan puncak ke bagian itu, yang ‘terpaksa’ mereka harus bersatu padu untuk bersama-sama ‘menyambut’ pimpinan itu.

DAMPAK KONFLIK TERHADAP KINERJA ORGANISASI


Suatu konflik merupakan hal wajar dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, dkk. (1998:115), mengemukakan bahwa konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi, akan tetapi konflik antar kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan negatif, sehingga manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan. Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.
Dengan demikian konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk dikelola agar dapat memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi. Phillip L. Hunsaker (2001:481) mengemukakan bahwa: Conflict are not negative; they are a natural feature of every organization and can never be completely eliminated. However, they can be managed to avoid hostility, lack of cooperation, and failure to meet goals. When channeled properly, conflicts can lead to creativity, innovative solving, and positive change (Konflik itu bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam setiap organisasi. Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik maka konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika konflik dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi).
Sejalan dengan pendapat di atas, Richard J. Bodine (1998:35) mengemukakan bahwa:  conflict is a natural, vital part of life. When conflict is understood, it can become an opportunity to learn and create. The synergy of conflict can create new alternative ‑ something that was not possible before. The challenge for people in conflict is to apply the principles of creative cooperation in their human relationship. . . . without conflict, there would likely e no personal growth or social change (Konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan. Ketika konflik dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang dan kreativitas dalam pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat menumbuhkan kreativitas baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun perubahan masyarakat).
Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik dapat memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Depdikbud (1983) yang dikutip oleh D. Deni Koswara (1994: 2), bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan, yaitu :
a.      Konflik dapat menyebabkan timbulnya perasaan "tidak enak" sehingga menghambat komunikasi.
b.      Konflik dapat membawa organisasi ke arah disintegrasi.
c.      Konflik menyebabkan ketegangan antara individu atau kelompok.
d.      Konflik dapat menghalangi kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
e.      Konflik dapat memindahkan perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan dan mencapai perubahan‑perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins (2003:162) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim manapun merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.
Tingkat konflik yang tidak memadai atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota, meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari organisasi itu.
Text Box: Kinerja Unit
Gambar  4 Konflik Dan Kinerja Unit

 

PENUTUP


Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu, dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal maupun horizontal sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu, masalah komunikasi dan struktur organisasi. Konflik dapat bersifat fungsional dan disfungsional. Kemampuan manajemen konflik dari seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas organisasi dipertaruhkan.

DAFTAR RUJUKAN



Alisjahbana, S.T., (1986). Antropologi Baru. Jakarta: Penerbit PT Dian Rakyat
Campbell F.R., Corbally, E.J. & Nystrand, O.R. (1983). Introduction to Educational Administration. (6th Edition). Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc.
Criblin, J. (1982). Leadership Strategies for Organizations Effectiveness. New York: Amacom
Cummings, P.W. (1980). Open Management: Guides to Successful Practice. New York: Amacom
D. Deni Koswara, (1994), Makalah: Manajemen Konflik. Disajikan dalam Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa Tanggal. 21‑22 Desember 1994, Senat Mahasiswa FIP IKIP Bandung, Bandung.
Dassler. G. (1998). Manajemen Personalia. Terjemahan Agus Dharma. Edisi  Ketiga. Jakarta: Erlangga
Davis & Newstrom. (1981). Human Behavior at Work: Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill International Editions
DuBrin, A.J. (1984). Foundation of Organizational Behavior an Applied Perspective. London: Prentice-Hall International Inc.
Feldman, D.C. & Arnold, H.J. (1983). Managing Individual and Group Behavior in Organizations. London: McGraw-Hill International Book Company
Gibson., Ivancevich ,    Donnelly. (1996),         Organization: Structure, Processes, Behavior, Dallas, Business Publications Inc.
Hunsaker, Phillip L., (2001), Training in Management Skills, Prentice Hall, New Jersey.
Luthans, F. (1985). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Bokk Company
Mulyasa. E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional. Banaung: PT Remaja Rosdakarya
Owens, R.G. (1991). Organization Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon
Polak, M. (1982). Sosiologi: Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta: PT Ictiar Baru
Prabu-Mangkunegara. A. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Rosdakarya
Robbins, Stephen P., (1990), Organization Theory: Structure, Design and Applications. Englewood Cliffs: Prentice Hall
---------------, (2003), Organizational  Behavior. Diterjemahkan oleh Indeks. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Ruchyat, (2001), Makalah: Manajemen Konflik di Sekolah, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, Bandung.
Sedarmayanti, (2000), Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan Ditinjau dari Beberapa Aspek Esensial dan Aktual, CV Mandar Maju, Bandung.
---------------,. (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju
Siswanto-Sastrohadiwiryo, B. (2002). Manajemen Tenaga Kerja Indonesia: Pendekatan Administratif dan Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, S. (1981). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press
SP-Hasibuan, M (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
S-Ruky. A. (2001). Sistem Manajemen Kinerja: Performance Management System, Panduan Praktis untuk Merancang dan Meraih Kinerja Prima. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Stoner, James A. F., Charles Wankel, (1986), Management, 3‑d, Prentice Hall International Inc., London.
T. Hani Handoko, (1992), Manajemen : Edisi 2, BPFE, Yogyakata.
Tjutju Yuniarsih, dkk., (1998), Manajemen Organisasi, IKIP Bandung Press, Bandung.
Tosi, H.L., Rizzo, J.R. & Carrol, S.J., (1990). Managing Organizational Behavior. (2nd Edition). New York: Harper Collins Publihser.
Walton, R.E., (1987). Managing Conflict: Interpersonal Dialogue and Third-Party Roles.  (2nd Edition). Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company
Wexley, K.N. & Yukl, G.A. (1992). Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Diterjemahkan oleh: Muh Shobaruddin. Jakarta: Rineka Cipta
Winardi, (2004), Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), CV Mandar Maju, Bandung.
---------------,. (1990). Asas-asas Manajemen. Bandung: Penerbit Mandar Maju