PENDAHULUAN
Pembangunan pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melalui pembangunan pendidikan diharapkan dapat dibentuk manusia yang insan cerdas komprehensif, kompetitif, dan bermartabat (Insan Kamil/Insan Paripurna). Pada periode 2005-2009 Depdiknas telah berhasil mengembangkan kebijakan-kebijakan terobosan, yaitu (1) pendanaan massal pendidikan, (2) peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik secara massal, (3) penerapan TIK secara massal untuk e-learning dan e-administrasi, (4) pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara massal, (5) rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan secara massal, (6) reformasi perbukuan secara mendasar, (7) peningkatan mutu dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, (8) perbaikan rasio peserta didik SMK:SMA, (9) otonomisasi satuan pendidikan, (10) intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan nonformal dan informal untuk menggapaikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang tak terjangkau pendidikan formal (reaching the unreached), dan (11) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan pendekatan komprehensif.
Berkat kebijakan terobosan tersebut, pembangunan pendidikan telah menunjukkan peningkatan akses dan kualitas pendidikan meskipun masih banyak yang harus ditingkatkan. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam penentuan Human Development Index (HDI) belum mampu mengangkat peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan indeks pembangunan manusia negara-negara di lingkungan Asia Tenggara.
Berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New York pada Senin, 1 Maret 2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Tahun lalu dengan ukuran yang sama, peringkat Indonesia berada pada urutan 65 dan banyak yang menyambut gembira karena media menulis ‘Peringkat Pendidikan Indonesia Naik’. Tahun ini kita kembali kecewa karena peringkat tersebut tidak bisa dipertahakankan apalagi diperbaiki. Lembaga yang selalu memonitor perkembangkan pendidikan di berbagai negara di dunia, tahun itu menempatkan kualitas pendidikan Indonesia masih lebih baik daripada Filipina, Kamboja, dan Laos. Tetapi apa artinya dengan membandingkannya dengan tiga negara yang memang selama ini peringkatnya tidak pernah berada di atas Indonesia, kecuali Filipina yang dalam beberapa hal lebih baik. Sementara Jepang berada pada urutan pertama sebagai bangsa dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia. Kompas (3 Maret 2011).
Angka HDI Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, tetapi masih di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Philipina, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal ini disebabkan oleh penanganan masalah yang berkaitan dengan indikator HDI seperti buta aksara, lama bersekolah, angka kematian ibu dan anak, serta pendapatan per kapita dilaksanakan lebih agresif di negara-negara tersebut dibandingkan dengan di Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan perlu terus ditingkatkan pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat secara terpadu. Reformasi pendidikan merupakan proses panjang untuk mendorong terwujudnya daya saing bangsa.
Masalah pendidikan, tidak terkecuali di negara kita, yang sampai sekarang belum terpecahkan, utamanya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, adalah masih rendahnya mutu (Depdiknas, 2003; Coombs, 1985).
Walaupun dalam bidang tertentu seperti fisika, peserta didik kita telah menunjukkan prestasinya di tingkat Internasional seperti meraih medali emas Olimpiade Internasional Fisika, namun secara rata-rata mutu pendidikan kita belum menggembirakan. Seperti pada tingkat internasional, hasil tes Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007 yang dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA) siswa Indonesia berada diperingkat 36 dari 48 negara peserta untuk penguasaan matematika. Skor rata-rata yang diperoleh siswa-siswa Indonesia adalah 397. Skor ini masih jauh di bawah skor rata-rata internasional yaitu 500. Selain itu, bila dibandingkan dengan dua negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, posisi peringkat siswa kita jauh tertinggal. Singapura berada pada peringkat kedua dan Malayasia berada pada peringkat ke 20.
Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti (Depdiknas, 2005). Sebagian sekolah, telah menunjukkan adanya peningkatan mutu yang cukup signifikan, namun sebagian lainnya, seperti umumnya sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan terpencil, masih belum menunjukkan adanya peningkatan (Suryadi dan Budimansyah, 2003).
Dilihat dari pengalaman pembaharuan pendidikan di Indonesia apa yang pernah dikemukakan CE. Beeby (seorang konsultan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan) tentang kelemahan pendidikan kita adalah bahwa kita cukup hebat dalam kemampuan merumuskan tujuan tetapi tidak diikuti dengan kemampuan menjabarkannya dalam pelaksanaan kebijakan sehari-hari (dalam arti sering memang sulit diimplementasikan baik karena rumusannya kabur ataupun karena tidak sesuai dengan kenyataan kondisi di lapangan, lihat Beeby, 1981: 144-168). Disamping itu kelemahan yang sudah sering dilontarkan adalah bahwa pembaharuan pendidikan kita sering tidak utuh dan sistematis (cenderung tambal sulam), atau bahwa dalam setiap pembaharuan, kita cenderung mulai lagi dari awal (tidak ada kontinuitas, atau dengan kata-kata populer ganti menteri ganti kebijakan). Kelemahan lain yang mungkin paling relevan untuk ditampilkan dalam kaitan permasalahan yang kita akan bahas adalah bahwa dalam perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan di waktu yang lewat (mungkin sampai sekarang juga) terdapat kecenderungan menonjolnya intervensi ideologis-kekuasaan dalam sistem dan proses pendidikan yang menyebabkan (sering secara terselubung) pendekatan elitis sentralisme dalam pengambilan kebijakan sukar dihindarkan.
Ternyata kita punya ikhtiar dan institusi yang menjamin kualitas pendidikan, tapi lemah dalam implementasi, sehingga masih banyak celah kekurangan atau bahkan ketidakmampuan untuk mencapai tujuan, semua itu karena kita kurang sinergis (terutama faktor evaluasi dan pengawasan) dan komitmen (quality control tanpa disertai quality assurace). Tulisan ini akan melihat berbagai masalah pendidikan, terutama pada aspek manajemen dan solusi yang ditawarkan penulis untuk masalah-masalah tersebut.
MASALAH DAN SOLUSI
A. Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran
Manajemen kurikulum adalah sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Dalam pelaksanaanya, manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Oleh karena itu, otonomi yang diberikan pada lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengelola kurikulum secara mandiri dengan memprioritaskan kebutuhan dan ketercapaian sasaran dalam visi dan misi lembaga pendidikan atau sekolah.
Kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah telah mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan perkembangan kurikulum tersebut, antara lain dikenal Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian disempurnakan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada masa lalu, kurikulum pendidikan syarat dengan materi tambahan yang tidak ada atau sangat sedikit kaitannya dengan proses belajar mengajar yang sesuai dengan proses tumbuh kembang anak. Walaupun kini materi-materi tambahan tersebut sudah banyak berkurang, materi kurikulum masih dirasakan terlalu berat bagi peserta didik. Beban belajar anak masih dominan terhadap aspek olah pikir, sementara itu aspek olah rasa, olah hati, dan olah raga sangat kurang.
Manajemen kurikulum diarahkan pada proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Saat ini guru belum dilibatkan dalam upaya pengembangan kurikulum (curriculum development), guru masih berpikiran pemerintahlah yang memberikan guidance (arahan) atas apa yang harus dilakukan, termasuk dalam pembuatan silabus. Yang seharusnya menurut Paulina Pannen (Dekan Sampoerna School of Education) KTSP justru menggali kreatifitas guru, guru (termasuk juga kepala sekolah) diberikan kewenangan untuk mengembangkan kurikulum agar pembelajaran memiliki makna yang mendalam pada diri siswa dan guru. Kepala sekolah bertanggungjawab dalam membimbing dan mengarahkan pengembangan kurikulum serta melakukan supervisi dalam pelaksanaannya. Kepala sekolah harus bekerja keras dan bertanggungjawab dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan penilaian terhadap perbaikan dan pengembangan kurikulum pembelajaran.
Implementasi kurikulum yang lebih konkret tercermin pada kegiatan pembelajaran. Pembelajaran merupakan inti dari proses kegiatan kurikulum. Di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen utama pembelajaran yaitu guru, siswa dan isi atau materi pelajaran. Interaksi antara ketiga komponen utama ini melibatkan sarana dan prasarana seperti metode, media dan penataan lingkungan tempat belajar sehingga tercipta suatu proses pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan.
Menciptakan proses pembelajaran yang bermutu diperlukan terciptanya kondisi yang disebut dengan budaya mutu, jika budaya mutu sudah terbentuk pada siswa, guru, Kepala Sekolah, dan seluruh warga sekolah, secara otomatis proses pembelajaran yang dilakukan akan bermutu juga.
Proses pembelajaran yang bermutu adalah, proses pembelajaran yang mengandung efektivitas atau ketepatan dan efisiensi keseluruhan unsur-unsur yang berperan dalam proses pembelajaran dengan indikator sebagai berikut: 1) ketepatan desain bahan pembelajaran; 2) lamanya bobot waktu belajar mengajar; 3) variasi strategi belajar mengajar; 4) frekuensi tugas/pekerjaan rumah yang diberikan; 5) frekuensi penilaian kemajuan hasil belajar siswa; 6) pemanfaatan media dan sumber belajar yang tepat; 7) iklim belajar yang kondusif (interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif); dan 8) teknik penilaian yang tepat.
Ideal memang jika melihat unsur-unsur yang berperan dalam pengelolaan proses pembelajaran, namun di lapangan banyak terlihat kenyataan yang kontra produktif, seperti yang diungkapkan oleh Mardanus Bahar (2011) :
Masih banyak guru yang menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang bersifat statis atau bahkan berbeda dengan silabus, artinya tidak terjadi pembaharuan dan perbaikan sesuai dengan pengalaman belajar dan kemajuan teknologi. Tidak melaksanakan analisis terhadap ulangan harian yang sangat bermanfaat untuk melihat ketuntasan pembelajaran. Jarang mengadakan pembelajaran remedial atau melakukan perbaikan hasil belajar, apalagi pengayaan. Disamping itu masih banyak guru yang kurang memperhatikan penggunaan alat bantu (fasilitas) dalam pembelajaran.
Dari kenyataan tersebut di atas, maka proses pembelajaran harus dilakukan dan dilandasi dengan perbaikan secara terus menerus tanpa henti karena berkaitan dengan mutu -- pembelajaran -- tidak pernah berhenti, seperti yang dinyakan oleh Nomi Pfeffer dan Anna Coote dalam Sallis (1993) bahwa "mutu merupakan konsep yang licin", mutu bersifat subyektif, dinamis (sesuatu yang dianggap mutu pada hari ini kemungkinan bukan sesuatu yang dianggap mutu besok). Mutu pada akhirnya suatu proses dan bukan tujuan. Mutu merangsang suatu orgaisasi pemerintahan dan orang individu untuk lebih baik dalam merancang produk dan jasa. Mutu harus dikelola atau di-manage, demikian juga proses pembelajaran perlu dikelola dengan baik oleh para guru guna menghasilkan proses pembelajaran yang bermutu.
B. Manajemen Tenaga Pendidik
Bangsa yang kini menikmati kemakmuran kehidupannya adalah mereka yang menjadi warga negara dari negara-negara yang memulai pembangunannya dari pengembangan sumber daya manusia. Berbicara pengembangan sumber daya manusia, kata kuncinya adalah pendidikan dan kalau berbicara pendidikan maka unsur terdepan dan yang paling ini adalah ‘guru’. No teacher no education, no education no economic and social development, prinsip dasar yang diungkap oleh Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam dalam pembangunan pendidikan di negaranya. Bahkan ketika masa Presiden Kennedy di penghujung tahun 1950-an merespon kekalahan Amerika Serikat dari Uni Sovyet dalam hal antariksa, dengan pertanyaan What’s wrong in our classroom ?, yang kemudian diikuti dengan program talent scouting, melakukan penelusuran bakat dan potensi anak melalui peningkatan mutu dan kesejahteraan guru, disamping dengan peningkatan anggaran dan sarana pendidikan.
Di Indonesia, guru memiliki posisi strategis dan memegang peranan kinci sebagai ujung tombak dalam tata pamong penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional, yang diharapkan dapat melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan memiliki daya saing. Namun, kondisi objektif menunjukkan bahwa jika dipandang dari segi tuntutan profesionalisme guru, mereka itu amat variasi sifatnya, baik pada aspek kualifikasi akademik maupun aspek sertifikasi profesinya, kompetensi. Di bawah ini tersebut data kualifikasi akademik guru di Indonesia berdasarkan Propinsi.
Tabel 1. Kondisi Guru Berdasarkan Kualifikasi Akademik
Sumber : Dirjen PMPTK Kemendiknas, 2010
Dari data di atas masih terlihat dari 2.791.204 guru di Indonesia (berdasarkan NUPTK – November 2010, sedangkan data UNESCO jumlah guru di Indonesia adalah 3,5 juta) yang memiliki kualifikasi minimal / sarjana baru 1.250.791. Berdasarkan data dari Kementrian Pendidikan Nasional di atas guru yang profesiional (yang lulus sertifikasi kuota 2006 – 2010) sebanyak 753.155.
Berkaitan dengan kompetensi guru, penulis contohkan di Kabupaten Indramayu. Dari kurun waktu 3 tahun (2007 – 2009) dilakukan uji kompetensi terhadap guru SD, SMP dan SMA/SMK oleh pihak LPMP Jawa Barat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Hasil uji kompetensi guru SD, selama 3 tahun menunjukkan nilai yang cenderung meningkat, namun untuk penguasaa mata pelajaran IPA dan penguasaan wawasan kependidikan masih tetap rendah. Sama seperti hasil nilai guru SD, hasil guru SMP menunjukkan kenaikan nilai, kecuali mata pelajaran Sejarah, bahkan menurun dari tahun ke tahun. Untuk tingkat SMA/SMK, dari 12 mata pelajaran yang diuji tinggal, satu mata pelajaran yang terus menurun dari tahun tahun sebelumnya, yaitu Bahasa Indonesia.
Dari kenyataan di atas (kualifikasi, kompetensi belum lagi persoalan distribusi), memang masih banyak masalah dan kendala berkaitan dengan guru. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum dan sebagainya namun masih tetap kurang mengangkat pencitraan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional (ironis, setelah adanya sertifikasi, setiap hari masih ada lebih dari 500.000 orang guru yang mangkir kerja).
Oleh karena itu Untuk mewujudkan guru yang benar – benar profesional dan kompeten pasca sertifikasi, perlu dilakukan upaya sistematis, sinergis dan berkesinambungan yang dapat menjamin bahwa setiap guru tetap professional dan kompeten sesuai dengan standar. Kita memiliki banyak peraturan perundangan yang menjamin kebermutuan guru, tapi lemah dalam implementasi, semua itu karena, kita kurang sinergis dan komitmen (quality control tanpa disertai quality assurace).
Selain tenaga guru, kepala sekolah memiliki peranan yang cukup besar dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Kepala sekolah sangat berperan dalam menggerakan berbagai komponen di sekolah sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik. Davis & Thomas, 1989 membuat sebuah kesimpulan bahwa “tidak pernah ada sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk dan sekolah yang buruk biasanya dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk pula. Sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses tiba-tiba menurun kualitasnya. naik atau turunnya kualitas sekolah sangat tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya”.
Kenyataan bahwa ketika diuji kompetensi kepala sekolah berdasarkan Permendiknas Nomor 13 tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah menunjukkan bahwa dari 250 ribu kepala sekolah yang diuji sebanyak 70% tidak kompeten. Berdasarkan hasil uji kompetensi tersebut hampir semua kepala sekolah lemah pada bidang kompetensi manajerial dan supervisi, padahal dua kompetensi tersebut merupakan kekuatan kepala sekolah dalam mengelola sekolah dengan baik (Depdiknas, 2008).
Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar, boleh jadi disebabkan pada proses rekrutmen dan pengangkatan yang selama ini berlaku. Oleh karena itu penting, pemikiran tentang pendidikan dan latihan bagi calon kepala sekolah.
C. Manajemen Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan pendidikan merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan dana (pendapatan) yang diterima dan bagaimana penggunaan dana tersebut dipergunakan untuk membiayai seluruh program-program pendidikan yang telah ditetapkan. Pembiayaan pendidikan memiliki peranan dalam memfasilitasi ketersediaan komponen pembelajaran agar masing-masing dapat berfungsi secara optimal. Hill J. (2006) dalam The Dilemma of School Finance Reform, mengemukakan bahwa tingkat pendanaan yang rendah membuat siswa tidak diberi kesempatan untuk berhasil secara akademis. Hal itu antara lain diakibatkan oleh fasilitas yang buruk serta kurangnya akses ke kurikulum beragam dan menantang.
Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan pembiayaan pendidikan (sekarang pun sudah terbatas !), sedangkan dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, dan barang atau jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder).
Manajemen pembiayaan pendidikan di tingkat sekolah dimulai dari penyusunan program, pengalokasian biaya, penggunaan biaya, pengawasan dan pengendalian yang ditearapkan, pertanggungjawaban yang ada, serta revie dan evaluasi yang diterapkan. Pengelolaan ini akan terselenggara dengan baik jika dari awal telah disusun suatu program untuk penggunaan biaya tersebut (berdasar Analisa Berbasis Evaluasi Diri Sekolah) dengan tujuan dan sasaran program yang tertulis secara jelas dan terukur serta merupakan bagian dari perencanaan sekolah secara keseluruhan.
D. Manajemen Penjaminan Mutu
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merupakan salah satu penjabaran yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah terkait dengan Standar Nasional Pendidikan. Dalam PP tentang lingkup SNP yang mencakup : standar isi, standar prose, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.
Atas dasar PP ini penyelenggaraan pendidikan pada setiap satuan pendidikan seharusnya memenuhi standar ini. Untuk itu pemerintah selain membentuk badan yang diberi nama BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan tiga badan akreditasi, BAN S/M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah), BAN PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi), dan BAN PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal).
Diantara Tugas BSNP adalah menetapkan standar-standar pada masing-masing komponen SNP dan khusus untuk memantau standar kompetensi lulusan, badan ini juga ditugasi menyelenggarakan Ujian Nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu, diantara tugas BAN adalah melakukan akreditasi atau peniaian terhadap kelayakan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, baik sekolah/madrasah, perguruan tinggi, maupun penyelenggara pendidikan non formal ditinjau dari SNP itu. Dalam kenyataannya hingga tahun 2009 sejumlah besar sekolah/madrasah dan sebagian program studi di perguruan tinggi, baik negeri apalagi swasta, belum sepenuhnya memenuhi SNP. Belum lagi fungsi pengetahuan hasil akreditasi yang diperoleh masing-masing sekolah masih merupakan sumber informasi untuk menarik masyarakat ketika mengetahui peringkat akreditasi sekolah tersebut.
Kita ternyata punya institusi yang menjamin kualitas pendidikan, tapi lemah dalam implementasi, sehingga masih banyak celah kekurangan atau bahkan ketidakmampuan untuk mencapai SNP, semua itu karena kita kurang sinergis (terutama faktor evaluasi dan pengawasan) dan komitmen (sekali lagi quality control tanpa disertai quality assurace).
Faktor penyebab persoalan itu semua bermuara pada kekeliruan pendekatan dan kebijakan yang diterapkan dalam menyelenggarakan pendidikan yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata (Depdiknas, 2004a, 2005).
Faktor pertama adalah kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan belum terwujud, karena selama ini pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Faktor kedua adalah penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis-sentralistik. Sekolah diposisikan sebagai penyelenggara pendidikan yang sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang sangat panjang. Kerap kebijakan yang dikeluarkanpun tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya sehingga kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga adalah kurangnya partisipasi warga sekolah, khususnya guru dan masyarakat, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat bergantung pada guru. Bentuk pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana (sekarang pun sudah terbatas !), sedangkan dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral, dan barang atau jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder).
PENUTUP
Kesimpulan
Di muka telah dibahas bahwa saat ini, dunia pendidikan kita sedang dihadapkan pada tantangan “kebermaknaan”. Hasil-hasil yang selama ini diupayakan melalui proses pendidikan, dianggap belum memberikan makna dan manfaat yang nyata bagi hidup dan kehidupan. Apalagi bila hasil pendidikan tersebut dibandingkan dengan hasil pendidikan di negara lain, hasil pendidikan di negara kita dianggap „terpuruk‟. Keterpurukan dunia pendidikan kita sebetulnya sangat beralasan, karena di negara kita masih dihadapkan pada persoalan-persoalan yang sangat mendasar, yaitu kemiskinan dan kesehatan yang buruk.
Berbagai inovasi dan pembaharuan atau perubahan telah banyak dilakukan, dengan berbagai model dan kemasan. Model dan kemasan dalam perubahan pendidikan tidak terlepas konteksnya dengan pembaharuan (inovasi), yang turunannya tidak lepas pula dengan konteks invention dan discovery. Proses pembaharuan tersebut berkaitan dengan pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan adopsi (adoption), dan penerapan (implementation).
Bagian penghujung naskah ini, ingin ditegaskan kembali bahwa apapun bentuknya perubahan atau pembaharuan pendidikan yang sedang dikembangkan, pada hakekatnya harus diarahkan pada proses rekontruksi struktur kehidupan yang memberikan pengaruh timbal balik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif menuju kehidupan mansyarakat yang lebih baik. Rencana dan program pendidikan yang baik ialah guideline yang dapat membatu individu atau masyarakat dalam memecahkan setiap problema kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat yang lebih besar dan menyeluruh terhadap penyelenggaraan pendidikan. Karena itu, perlu dilakukan upaya sistematis, sinergis dan berkesinambungan yang dapat menjamin mutu pendidikan, tajam dalam implementasi (quality control dan quality assurace).
Rekomendasi
1. Saat ini penulis masih menemukan ketidakmampuan sistem dalam pelaksanaan penjaminan mutu, misalnya pada pelaksanaan standar isi dan standar proses. Pada standar isi, terutama pada pengembangan silabus, masih banyak temuan bahwa pendidik mengembangkan tanpa menyelaraskan dengan kondisi ada, mereka hanya ‘copy-paste’ dari yang sudah ada dari pemerintah. Demikian halnya pada standar proses (aspek perencanaan) ketidakmampuan guru dalam pengembangan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) masih terlihat. Pada kasus ini terlihat sekali mereka hanya menulis tanpa memahami. Temuan menyebutkan bahwa RPP yang dibuat tidak relevan dengan silabus, guru mengajar berorientasi pada buku teks, tidak mengacu pada RPP. Kondisi menyadarkan kita bahwa salah satu penyebabnya adalah fungsi pengawasan belum dapat berjalan dengan optimal. Padahal fungsi pengawasan sangat penting untuk berjalan efektif dan efisiennya proses penjaminan mutu. Padahal rasio jumlah pengawas saat ini sudah berimbang dengan sekolah (1 pengawas : 10 pengawas untuk SD dan SMP/SMA 1 pengawas : 7 sekolah), produk hukum tentang penjaminan standar mutu pun juga ada dan banyak, namun kondisi seperti di atas, masih banyak ditemui. Penulis berasumsi hal itu disebabkan karena mainset dan mental yang sulit menerima perubahan dari para pendidik (terlebih yang usianya di atas 50 tahun) dan tidak efektifnya sektor pengawasan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan perlunya dibentuk badan ad hock untuk menjamin mutu sesuai dengan standar pendidikan nasional.
2. Mutu yang baik adalah manifestasi pertanggungjawaban otoritas pendidikan atas kepercayaan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya. Mekanisme pengembangan mutu harus mengacu pada konsep jaminan mutu (quality assurance), bukan kendali mutu (quality control). Artinya, sekolah harus lebih menekankan segi proses, dan bukan segi hasil atau pencapaian belaka (output). Jika mengikuti logika kendali mutu, energi sekolah akan tecurah pada upaya mengukur akumulasi pengetahuan dan keterampilan siswa selama proses belajar-mengajar, seperti melalui berbagai skema UN yang selalu banyak masalah dan hiruk pikuk yang menghabiskan energi. Konsekuensinya, kegiatan belajar-mengajar yang ada maupun tindak lanjut pengembangan mutu yang nantinya diambil akan berkutat pada upaya-upaya menggenjot hasil ujian supaya dapat melampaui standar akademis atau ujian nasional yang ada.
3. Sangat mendesak untuk membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, Mardanus. 2011. Analisis Mutu Kinerja Guru. Jurnal Administrasi Pendidikan Vol XIII No. 2 Oktober 2011.
Baldrige National Quality Program. (2004). Education Criteria for Performance Excellence. NIST.
Boediono & Abbas Ghozali. (1999). Faktor-faktor yang Mempengaruhi mutu Pendidikan: Pendekatan Fungsi Produksi Penduduk. Jurnal Ilmiah kajian No. 020. Jakarta: UNJ.
Coombs, P. H. 1985. The World Crisis in Education: The View from Eighties. New York: Oxford University Press.
Creech, Bill. (1996). The Five Pillars of TQM. Alih Bahasa Alexander Sindoro. Jakarta: Binarupa Aksara.
Depdiknas. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2010 -2014. Jakarta : Sekretariat Jenderal.
------------. 2004. Hasil Monitoring Program Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat SLTP.
Hartini, Nani. 2011. Efektifitas Pelaksanaan Akreditasi Sekolah Mengah Atas. Jurnal Administrasi Pendidikan Vol XIII No. 2 Oktober 2011.
Jalal, F. dan Supriadi, D. (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Depdiknas Bapennas. Jakarta: Adi Cipta Karya Nusa.
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (2008). Pendidikan di Indonesia : Masalah dan Solusi. Jakarta : Kedeputian Bidang Koordinasi Pendidikan, Agama dan Aparatur Negara.
Sallis, E. (1993). Total Quality Management in Education. Philadelphia: Cogan Page Education Management Series.
Suhaeli. 2011. Studi tentang Sekolah Efektif pada SMAN di Propinsi Jawa Barat. Jurnal Administrasi Pendidikan Vol XIII No. 2 Oktober 2011.
Suryadi, A. & Budimansyah, D. 2003. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru. Bandung: Penerbit Genesindo.
Suryadi, A. dan Tilaar, H.A.R.. (1993). Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suyanto & Hisyam, D. 2000. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta: Adi Cita.
Tilaar, H.A.R. (1996). Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
------------ , (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persepsi Abad 21. Magelang Tera Indonesia.
------------ , (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
------------ , (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Dosen Jurusan Admnistrasi Pendidikan.(1994). Pengelolaan Pendidikan. Bandung: FIP-IKIP.