MENJAMIN MUTU PENDIDIKAN ADALAH AMANAH


.


 Saya akan mengapresiasi Dr. Suhaeli yang telah menunjukkan satu tanda kepakarannya, dengan menyampaikan pokok-pokok pikiran pada Seminar Internasional Re-Thinking Educational Administration : Issue and Trends in Relation With The Improvement of National Quality of Education. Saat ini, beliau bukan hanya sebagai birokrat tapi juga seorang pakar pendidikan, terpancar kuat dalam setiap pemikiran dan sikapnya. Kekuatan pemikiran, ditambah kesantunan dan ketenagan dalam melihat berbagai persoalan menjadi ciri utama kepribadiannya.Pemahaman beliau akan akar-akar historis yang melandasi berbagai pemikiran pendidikan (administrasi pendidikan) dikuasai secara mendalam dan luas. Dalam memandang dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan, selalu mempertimbangkan aspek keadilan dan jalan tengah.
Saya melihat pemikiran Dr. Suhaeli yang disampaikan pada seminar lalu sebagai bentuk penelusuran terhadap kekurangan atau bahkan ketidakmampuan pada tataran makro, meso maupun mikro sistem yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan, hal tersebut karena kita kurang sinergis (terutama faktor evaluasi dan pengawasan) dan komitmen terhadap mutu (quality control tanpa disertai quality assurace). Pemetaan faktor ketidakmampuan tersebut terlihat pada kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau yang lebih dikenal dengan pendekatan input-output analysis tidak dilaksanakan secara konsekuen; penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis-sentralistik; kurangnya partisipasi warga sekolah, khususnya guru dan masyarakat, dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Saya melihat masalah yang sampaikan oleh Dr. Suhaeli pada persoalan bahwa mekanisme pengembangan mutu harus mengacu pada konsep jaminan mutu (quality assurance), bukan kendali mutu (quality control). Mutu yang baik adalah manifestasi pertanggungjawaban otoritas pendidikan atas kepercayaan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya. Kontekstual masalah tersebut pada tingkat satuan pendidikan (sekolah) adalah sekolah harus lebih menekankan segi proses, dan bukan segi hasil atau pencapaian belaka (output). Jika mengikuti logika kendali mutu, energi sekolah akan tecurah pada upaya mengukur akumulasi pengetahuan dan keterampilan siswa selama proses belajar-mengajar, seperti melalui berbagai skema UN yang selalu ada masalah dan hiruk pikuk yang menghabiskan energi. Konsekuensinya, pembelajaran yang ada maupun tindak lanjut pengembangan mutu yang nantinya diambil akan berkutat pada upaya-upaya menggenjot hasil ujian supaya dapat melampaui standar akademis atau ujian nasional yang ada.
Khusus untuk Ujian Nasional (UN), saya punya pandangan bahwa ujian nasional itu pada dasarnya menjadi domain pedagogis. Maknanya UN adalah bentuk pertanggungjawaban setiap peserta didik yang telah mengikuti kegiatan pembelajaran selama periode tertentu. Untuk peserta didik SD periode tertentu tersebut adalah enam tahun dan untuk SMP dan SMA/SMK periode tertentu tersebut adalah tiga tahun. Setiap peserta didik mempunyai kemampuan akademis yang berbeda. Ada peserta didik yang cepat menguasai mata pelajaran yang diajarkan sehingga pada saat mengikuti UN sudah siap, tetapi karena berbagai alasan, ada peserta didik yang belum siap ketika mengikuti UN sehingga tidak lulus.  Ketika dalam suatu kabupaten/kota atau satu sekolah relatif banyak peserta didik yang tidak lulus, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota atau sekolah lain, UN juga masuk pada domain politis karena banyak komentar dari berbagai kalangan mulai pengamat pendidikan, politikus, sampai dengan orang tua, bahkan anggota masayarakat pada umumnya. Komentar bervariasi, dari tidak setuju dengan diselenggarakannya UN sampai dengan UN dianggap sebagai upaya untuk mendiskreditkan peserta didik. Ada juga yang berpendapat UN merupakan alat ukur yang tidak adil. Namun kalau kita mau memandang dari sudut pandang yang positif, UN dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk memetakan mutu pendidikan dasar dan menengah. Dari situ titik pangkal peningkatan mutu pendidikan dilakukan.
Namun itu, dari pemahaman di atas, penulis mengusulkan ke depan kebijakan formulasi kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan adalah 50% (US) dan 50% UN atau bahkan 60% (US) dan 40% UN, bukan 40% (US) dan 60% UN (Permendiknas 59 tahhun 2011) sehingga ada keseimbangan US dengan UN. Dari disinilah peran sekolah benarbenar dilibatkan karena terjadinya keseimbangan nilai sekolah dan nilai ujian nasional. Ujian sekolah itu mutlak diproyeksikan berimbang dengan Ujian Nasional karena bisa mendorong para siswa belajar lebih serius dan juga berguna untuk mengukur keberhasilan proses belajar.
Untuk memahami mengapa ujian sekolah dan ujian nasional harus berimbang, karena ujian yang dilaksanakan selama ini belum mampu mewujudkan fungsinya secara optimal. Temuan tim dari Bank Dunia yang menyatakan bahwa dua hal penting yang menentukan manfaat ujian bagi peningkatan mutu pendidikan adalah (a) mutu tes yang digunakan, dan (b) mutu balikan yang diberikan. Selain itu, Bank Dunia juga menyatakan bahwa prasyarat agar kedua faktor tersebut berfungsi dengan baik dalam meningkatkan prestasi akademik peserta didik adalah kesamaan persepsi guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa tentang pentingnya ujian dalam proses pendidikan. Sistem ujian yang diharapkan adalah suatu sistem yang mampu membantu penyelenggara pendidikan menegakkan akuntabilitas publik, memberikan balikan yang bermanfaat kepada sistem pendidikan untuk meningkatkan mutu kinerja dan efektivitasnya, serta mampu mengendalikan dan mendorong terjadinya peningkatan mutu pendidikan (sekurang-kurangnya prestasi akademik peserta didik). Studi yang dilakukan oleh tim dari Bank Dunia memberikan pelajaran bahwa sistem apa pun yang dihasilkan hanya akan efektif jika didukung oleh kesamaan persepsi dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait untuk mengimplementasikan sistem itu secara konsekuen, termasuk pihak sekolah.
Sehingga menurut saya, sisi lain yang juga, lebih penting dari itu adalah bagaimana membentuk kultur sekolah (school culture) yang memiliki komitmen untuk memelihara nilai-nilai unggul (living values) yang menjadi spirit, acuan, dan iklim kehidupan bagi guru, murid, maupun karyawan sekolah. Sebuah komunitas sekolah seharusnya merupakan learning society yang setia menjaga dan menghidupkan nilai-nilai unggul dalam kehidupan sehari-hari, sehingga sekolah merupakan lembaga katalisator yang mampu memfasilitasi siswa menemukan dan mengembangkan bakat dan minatnya dengan disertasi nilai-nilai moral yang luhur.
Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa menjamin mutu pendidikan adalah amanah. Semangat itu harus mendasari konsep pengembangan mutu di mana pun. Mutu bukan sekadar sesuatu untuk diukur atau dijadikan faktor penentu keunggulan. Mutu yang baik adalah manifestasi pertanggungjawaban otoritas pendidikan atas kepercayaan para stakeholders dan masyarakat pada umumnya. Saya sepakat dengan yang dikemukakan oleh Dr. Suhaeli, bahwa kita perlu melakukan upaya sistematis, sinergis dan berkesinambungan yang dapat menjamin mutu pendidikan, tajam dalam implementasi (quality control dan quality assurace).

Wallahu’alam.



Your Reply