I f t i t a h
Alvin Toffler, dalam bukunya The Third Wave mengatakan bahwa kita sekarang ini berada pada gelombang peradaban ketiga. Di peradaban ini, perkembangan sains dan teknologi semakin cepat jika dibandingkan dengan perubahan kultural manusianya. Melihat sinyalemen di atas, dipastikan bahwa pada abad XXI ini merupakan abad sainstifik-tecnological, di mana sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tanda-tanda ke arah itu cukup jelas kelihatannya, seperi dalam globalisasi informasi mutakhir, misalnya satelit komunikasi atau internet yang terus berkembang dan mengglobal, atau jaringan televisi dengan beragam program yang semakin teridentifikasi (seperti CNN, Discovery, Channel, HBO dan sebagainya), yang tanpa dihalangi melintas batas-batas geografis. Jadi dari hal di atas, key-term (kata kunci) pada abad XXI ini adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara sederhana, menurut Marwah Daud Ibrahim (1993) ilmu pengetahuan itu membahas tentang know-what dan know why, sedangkan teknologi, secara sederhana berkenaan dengan know-how.
Namun dari semua itu, mesti kita sadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah “pedang bermata dua”. Ia dapat dipergunakan untuk berbuat baik sekaligus pada saat yang sama dapat digunakan untuk tindak kejahatan. Ia dapat mendatangkan kemajuan dan kenyamanan, akan tetapi juga pada saat yang sama ia menjadi problem yang tidak begitu saja mudah untuk diatasi. Misalnya, tak ragu lagi kemajuan-kemajuan teknologi mendorong munculnya berbagai perubahan, atau bahkan transformasi kebudayaan manusia secara keseluruhan. Azyumardi Azra (1996) menyebutkan bahwa serbuan globalisasi-informasi mendorong berkembangnya nilai-nilai, norma-norma dan gaya hidup di kalangan masyarakat banyak. Kemajuan-kemajuan teknologi transportasi ini juga mendorong terjadinya perkembangan budaya travel dan migrasi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai budaya dan peradaban antar manusia secara langsung. Pertumbuhan kebudayaan material dan konsumerisme yang hampir tidak dapat dikendalikan lagi, yang pada gilirannya menimbulkan gaya hidup hedonistik yakni gaya hidup yang mengedepankan dan memper-tuhankan benda dan kesenangan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan demikian tidak sepenuhnya bebas nilai, karena kehadirannya telah mencerminkan kepentingan-kepentingan manusianya. Dalam hubungan ini, ilmu pengetahuan dan teknologi mestinya dikawal dan dikendalikan oleh iman dan taqwa, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi sepenuhnya dapat dikuasai untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang luhur. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi menurut Musa Asy’arie (1996) seharusnya menjadi perpanjangan aktualisasi iman dan taqwa. Iman dan taqwa, sebagai muara yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya akan terasa optimal dan kokoh bila dalam upaya pembinaannya secara konsisten dan berkesinambungan.
Salah satu komponen pemakai “produk” perkembangan era globalisasi adalah remaja. Remaja, oleh Sarlito Wirawan Sarwono (1992) diposisikan sebagai masa perpindahan (transisi) dari tahap anak-anak ke tahap dewasa. Dari posisi yang sangat tanggung itu, lebih lanjut Boentje Herboenangin (1992) menduga bahwa banyak masalah yang mesti dihadapi oleh remaja, disamping masalah-masalah tipikal yang pada umumnya dihadapi oleh setiap remaja sebagai akibat dari masa transisi (peralihan) tersebut. Masalah yang dihadapi remaja pada saat ini antara lain adalah keterbukaan atau eksosure kepada sumber-sumber informasi sejagat, yang akan menumbuhkan sikap mental tertentu yang menjadi ciri khas mereka yang berada di era-globalisasi.
Kesiapan mental mereka tentunya sangat diperlukan dalam menyongsong arus perkembangan globalisasi ini, agar dapat mengurangi dampak kritisnya sampai pada titik yang serendah-rendahnya, bahkan kalau mungkin sampai pada titik nol. Karena, menurut Nurcholish Madjid (1995) setiap perubahan sosial akan menimbulkan krisis, dan krisis itu sebanding dengan ukuran perubahan yang terjadi. Era globalisasi akan membawa perubahan sosial yang sangat besar, lebih besar dari pada yang dibawa oleh era-industrialisasi.
Kontra Moralitas Gaya Hidup Remaja : “Semakin Modern, semakin Permisif”
Gaya hidup (lifestyle) menurut Idi Subandy Ibrahim (1997) adalah corak yang menjadi intisari dari suatu perkembangan zaman tertentu dan hal itu dipengaruhi oleh kecenderungan budaya yang ada. Gaya hidup sebagai pembeda akan muncul dalam masyarakat yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan juga bahwa gaya hidup inilah yang menjadi prestise dalam sistem stratisikasi sosial. Dengan kata lain, gaya hidup dapat dipandang sebagai “KTP” bagi keanggotaan suatu stratum sosial. Untuk menangkap gaya hidup ini dapat kita lihat dari barang-barang yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya bersifat modis, cara berprilaku (etiket), sampai bahasa yang digunakan tidak untuk tujuan berkomunikasi semata-mata tapi juga untuk simbol identitas.
Di Indonesia, paling mutakhir adalah bagaimana orang ‘dilatih’ untuk berobsesi dengan persoalan gaya hidup. Pergi ke salon hanya untuk merawat kuku ternyata bukan milik kaum perempuan saja sekarang kaum laki-laki pun melakukannya, ‘sekolah kepribadian’ semakin menjamur, melatih bagaimana orang-orang bisa makan ‘sop dengan sopan’. Belum lagi fitness center yang merebak sampai ke kampung-kampung, kebiasaan konsumtif baru untuk mengunjungi rumah-rumah makan fast food seperti McDonald’s, Kentucky Friend Chicken, Wendy’s, dan lain sebagainya.
Perubahan-perubahan yang menakjubkan itu ternyata ada social cost yang harus dibayar, artinya berapa orang atau seberapa banyak kelompok-kelompok sosial yang harus menyingkir untuk membiayai satu kelompok yang lebih beruntung ? Perkembangan yang terjadi sekarang ini bukanlah sesuatu yang terjadi dengan percuma, dia mempunyai ‘harga’ yang harus dipersoalkan : bukan saja agar harga itu tak terlalu mahal, tapi juga untuk siapa sebenarnya semua ini?
Oleh karena itu sadar atau tidak, saat ini gaya hidup yang menjadi icon-nya globalisasi telah merangsek masyarakat dan kehidupan bangsa terutama generasi muda atau remaja, yang lebih vulnerable dan impressionable. Globalisasi, yang oleh Syahrin Harahap (2004) disebutkan memiliki ciri antara lain terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistis, efisien dan juga sekaligus tidak menghargai nilai yang norma secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan.
Kilpatrick (1992) dalam sebuah surveynya yang berjudul The Day America Told the Truth mengungkapkan tentang kepercayaan orang Amerika yang mengatakan bahwa pergaulan bebas dan zina (hubungan seksual tanpa nikah) merupakan hal yang lumrah dan bahwa dianjurkan. Sebagai contoh Pada sebuah Sekolah Menengah di California setiap Jumat sore semua siswa yang akan berlibur akhir pekan terlebih dahulu pamit kepada guru mereka. Guru melepaskan mereka dengan kata-kata perpisahan : “selamat menikmati libur akhir pekan”, “jaga kesehatan dan jangan gonta-ganti pasangan, usahakan tidak hamil dan sebaiknya kamu pakai kondom saja” (Have a sex safely or avoiding disease, and avoiding pregnancy). Begitulah pesan guru pada siswanya dan hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dan tatakrama ala Amerika dan Barat. Inilah pragmatisme versi Amerika dan Barat yang mengajarkan bahwa kebenaran itu tergantung kepada kepuasan individu dan kalau seseorang sudah puas dan merasa terhibur dengannya maka itulah sebuah kebenaran.
Sontak hati penulis, ketika membaca beberapa hasil survey tentang ‘gaya hidup’ remaja di beberapa kota besar di Indonesia. Hasil penelitian Universitas Atmajaya Jakarta bulan Oktober 1994 di beberapa SMP, SMU dan SMK di Jakarta dinyatakan bahwa 9,9% dari 558 siswa yang menjadi responden mengaku telah berhubungan seks dengan teman sebaya setelah menonton film porno.
Hasil penelitian Sulistya Eka, pelajar SMPP 10 Yogyakarta menyebutkan bahwa dari 461 pelajar yang mengisi angket, sebanyak 31.6% melakukan ciuman pada waktu pacaran, 21,6% meraba-raba organ tertentu milik pacarnya dan 12,7% mengaku pernah bersenggama dengan pacarnya.
Sementara itu Jawa Pos edisi 25 Mei 2003 mencatat sebuah polling dari 1.522 siswa SMU/SMK di Jakarta dan Surabaya bahwa rata-rata 10,4% pernah berhubungan seks di luar nikah dan 45% pernah wet kissing (ciuman basah).
Survey terhadap 190 siswa SMU/SMK di Bandung tentang alasan melakukan hubungan seks di luar nikah adalah 26% menyalurkan dorongan seks, 17% ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji kemampuan/keperawanan/perjaka, 5% mendapat imbalan, dan 3% mengatasi stress.
Itulah barangkali sebagian ‘wilayah’ remaja kita yang tereleminasi globalisasi dan tatakrama ala Amerika dan Barat. Remaja kita sudah semakin permisif (serba boleh). Apa yang dahulu tidak boleh, sekarang sudah boleh.
Moralisasi : Agenda Pendidikan
Pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat, termasuk remaja beradab, yang tampil dengan wajah kemanusiaan yang normal. Kata lainnya, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, terutama peserta didik. Pendidikan yang dimaksudkan di sini lebih dari sekedar sekolah (education not only education as schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community networks). Namun itu, seringkali kita temukan secara diametral pertentangan moralitas di masyarakat, sebagai contoh : Razia buku-buku porno yang dimiliki oleh siswa berbenturan dengan media cetak, media elektronik, VCD, jaringan internet atau media lain yang mengumbar simbol-simbol yang merangsang nafsu syahwat.
Penggambaran gaya hidup remaja yang kontra moralitas di atas adalah sebuah realitas, yang dicaci secara lisan dan tulisan, namun kerap dilakukan dan bahkan dipandang sebagai kewajaran pada sebuah masyarakat yang tengah mengalami ‘kesakitan’. Tatkala sebagian besar remaja kita telah mengklaim sebagai remaja modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral belum lagi surut. Bersamaan dengan itu, setidaknya pada tataran verbal seruan motivasional agar remaja tampil secara bermoral tidak pernah surut. Moralitas sejati berfungsi untuk membimbing tingkah laku remaja, dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kebutuhan sosial di sekitar mereka.
Moralitas, moralisasi, tindakan amoral dan demoralisasi merupakan realitas hidup dan ada di sekitar kita. Ross Poole (1993) mengatakan bahwa terkadang konsep moralitas itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib di dunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep yang bisa kita akui memiliki tempat di dalam suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuas-kan bagi kita. Kebermaknaan itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, kebertanggungjawaban, ketenang-an, tanpa prasangka dan keceriaan hidup. Inilah dambaan dan tuntutan kita untuk hidup dalam suasana asali moral (moral state of nature) di mana tuntutan-tuntutan moralitas dan aspirasi-aspirasi kita sendiri terakomodasi secara normal di dalam hidup bermasyarakat.
Khotimah
Ketika globalisasi menjadi sebuah kemestian, karena melawannya merupakan hal yang tidak mungkin dan beresiko tinggi. Yang hanya bisa dilakukan adalah bersikap selektif dan berusaha menyaring nilai-nilai
Munculnya moralitas, menurut Plato adalah ketika seseorang mulai berfikir apa yang mesti dan tidak mesti dilakukan menurut kultur yang arif dan alam pikiran rasional yang objektif. Penalaran, dalam makna nalar intelektual tidak memadai lagi ketika kehidupan makin kompleks, hingga lahirlah tuntutan untuk membangun masyarakat yang cerdas intelektual-emosional-spiritualnya secara simultan. Mungkin itu sebenarnya yang ingin dibangun di Indramayu ?! Wallahu’alam.