MENAPAKI KEBERMAKNAAN WAKTU (Renungan di Pergantian Tahun)


.

Waktu adalah realitas yang membatasi substansi wujud, di mana dibedakan antara yang dahulu dan yang baru. Yang dahulu itu Khaliq, dan yang baru itu adalah Makhluk. Tentu saja wujud Tuhan yang dahulu dengan wujud makhluk yang baru, tidak memiliki kesamaan dalam realitas. Khaliq, merupakan realitas yang mutlak, sedang Makhluk merupakan realitas yang nisbi atau relative.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk berbicara tentang Tuhan, apakah Ia terkait dengan waktu atau tidak, yang sering dibicarakan para teolog, tetapi berkisar kepada pergulatan manusia dengan waktu dalam proses dialektika kesejarahannya.


Waktu : Memberdayakan Potensi Manusiawi

Dalam perbendaharaan pengetahuan dikenal suatu dictum yang berbunyi Tempora Motantur in Illis, waktu berubah dan kita di dalam waktu. Diktum ini mengisyaratkan bahwa perubahan waktu membawa pula pada perubahan pada tiap diri manusia. Perubahan semenjak bayi atau sebelumnya, anak-anak, remaja, dewasa, dan manula, adalah bersamaan dengan perjalanan waktu.

Momentum perubahan waktu itu sendiri bisa kita ukur dengan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya, hanya saja dalam dimensi sosiokultural kita seringkali gegabah dalam menempatkan waktu sebagai proses perubahan manusia. Semisal, seorang teman di waktu remaja dikenal paling nyantri, tetapi suatu saat, ada perubahan dalam intensitas pelaksanaan ibadahnya, baik ritual maupun social. Ia dikenali orang tidak sebagaimana dulu, temanku dulu berbeda dengan iayang kini. Kemudian orang di sekelilingnya mengatakan “waktu telah merubahnya”.

Di sini orang sudah terjebak pada anggapan bahwa waktu sebagai subjek dari proses perubahan atau actor dari setiap perubahan-perubahan yang ada pada manusia, “biarlah ia bersikap masa bodoh, waktu akan merubahnya” atau kalimat “tinggal tunggu waktunya saja” adalah contoh lain dari menisbatkan manusia terhadap waktu atas segala peristiwa, termasuk perubahan.

Anggapan yang menempatkan waktu sebagai subjek dari setiap peristiwa atau perubahan pada dasarnya merupakan pensirnaan atas hak dan kewajiban manusia untuk melakukan aktivitas yang riil, pembudidayaan potensi manusiawinya, serta realitas misi hidup. Anggapan semacam ini, merupakan produk dari masyarakat jahiliyah yang disidir Allah dengan bahasa-Nya “Dan mereka berkata : kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak aka nada yang membinasakan kita selain masa” (45 : 24).

Sekali lagi, ayat di atas adalah sindiran Allah terhadap mereka yang menempatkan waktu sebagai subjek perubahan. Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa inilah ayat yang menyinggung adanya kelompok, yang sekarang disebut Atheis. Ayat di atas juga merupakan peringatan Allah atas kesalahkaprahan kita dalam memandang waktu. Sebab betapapun ringannya anggapan itu, akan memiliki implikasi yang cukup dahsyat dalam pemberdayaan potensi manusia. Orang akan mudah kehilangan tanggung jawab moral dan sosialnya, bagi kehidupan dirinya maupun masyarakatnya, lebih jauh lagi adalah pandangannya tentang kehidupan dunia yang hanya menjembatani antara hidup dan mati, an sich. Sebab jika orang sudah tidak bertanggung jawab dengan kehidupan ini, ia tidak akan pernah berfikir sesuatu yang melebihi kematian, sebab kematian adalah akhir dari kehidupan sesudah mati, kehidupan akherat, kehidupan abadi, kehidupan yang terbatas oleh waktu.

Waktu hanyalah sebuah momentum. Momentum untuk memulai memberdayakan potensi manusiawi, momentum untuk memulai merealisasikan cita-cita dan misi hidup, dari apa yang telah kita perbuat di masa lalu dan menyiasati aksi untuk masa depan, seperti momentum pergantian tahun hijriyah 1430 ke 1431, dan pergantian tahun masehi 2009 ke 2010. Tak perlu kita menggelari tahun ini sebagai tahun keberuntungan, atau tahun lalu sebagai tahun kesialan. Keberuntungan dan kesialan bukan tahun atau waktu yang menentukannya, tetapi ikhtiar kita, usaha dan upaya kita sendiri. Rasulullah Saw bersabda : “janganlah kalian mencaci maki waktu, karena waktu adalah (milik) Allah”.

Mencari Jatidiri Sebagai Jelmaan Iman Dalam Ruang Dan Waktu

Hidup di dunia ini adalah penting sebagai sarana untuk menuju kehidupan yang abadi di akherat, sebagai terminal yang terakhir. Sinyalemen tersebut dapat kita tangkap dari Al Qur’an. Bagi Al Qur’an, kecemerlangan hidup di akherat ditentukan kini dan di sini, selama di dunia ini (QS. 41:46, 30:44, 45:25). Oleh sebab itu, kehidupan di dunia ini bersifat decisive, yakni kebahagiaan dan kemalangan hari nanti diputuskan secara bebas oleh umat manusia dalam hidup yang singkat ini. Kegagalan dalam mengambil keputusan yang tepat dan jitu sekarang akan berakibat penyesalan yang panjang dan sia-sia.

Ilustrasi Al Qur’an terhadap kondisi tersebut cukup singkat, namun tegas, yaitu : “dan barangsiapa yang buta (di dunia), ia akan buta di akherat dan bahkan lebih sesat perjalanannya” (QS. 17:72). Suasana di akherat disamping ditentukan oleh tepat tidaknya pilihan kita di dunia, juga sebenarnya suasana ini adalah kelanjutan organis dari situasi kita di sini. Maka bentuk doa yang diajarkan Al Quran adalah : “Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia dan di akherat dan peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. 2:201). Menurut dari ayat tersebut nampaknya bahwa kecemerlangan hidup adalah hidup yang dikendalikan dan dikawal oleh tujuan-tujuan moral transedental. Istilah al akhirah, menunjukkan tujuan yang paling tinggi (the ultimate goal), yang tanpa itu kehidupan dunia tidak punya makna sama sekali.

Konsep hidup di atas memang tidak mudah --untuk tidak mengatakan sulit—untuk kita melaksanakannya, terutama di tengah suasana yang serba materalistik dan sekuler, akan tetapi harus menjadi catatan kita, bahwa yang kita alami sekarang, juga dialami oleh kaum terdahulu.

Manusia diberi kebebasan untuk memilih dan terbuka dalam mengibarkan dirinya sebagai umat yang Berjaya dan cemerlang, atau sebaliknya, menjadi umat yang pantas sebagai penghuni buritan. Inisiatif untuk merubah nasib yang lebih baik dan lebih Islami perlu senantiasa diambil. Kendala dan rintangan tidak boleh membuat kita berpangku tangan, menanti bantuan orang lain. Kita tidak boleh berdiam diri, jatidiri kita ditentukan sepenuhnya oleh amal dan kerja kita, sebagai jelmaan iman dalam ruang dan waktu.

Wallahu’alam.

Your Reply